Minggu, 30 Januari 2011

MENDOBRAK PLURALISME SETENGAH HATI
Oleh : Husni Mubarok, S.Th.I

Sampai saat ini wacana pluralisme masih menjadi isu terbesar dalam studi perbandingan agama setidaknya menurut penulis. Karena dalam konteksnya ilmu perbandingna agama membahas segala aspek keagamaan secara objektif. Dengan keobjektifan tersebut akan membawa para sarjanawan ilmu perbandingan agama kepeda paradigma pluralisme. Meskipun tidak disangkal pada kenyataannya para sarjanawan ilmu perbandingan agama tidak dapat melepaskan diri dari superioritas agama yang dipeluknya.
Corak pluralisme yang demikian, tidak disangkal, melahirkan model “pluralisme setengah hati”, dalam hubungan antar agama ditanah air. Kita bisa mengambil contoh dalam pemahaman pluralitas pada masyarakat. Kebanyakan orang mengakui bahwa kita hidup dalam masyarakat yang plural: ada banyak agama disekeliling kita. Akan tetapi disisi lain masyarakat kita tidak rela untuk menempatkan agama mereka sejajar dengan agama lain. Ada bagian-bagian tertentu yang “sengaja dibedakan” dan tentu diklaim sebagai sesuatu yang paling benar.
Jika di perhatikan, paling tidak ada dua paradigma besar hubungan antaragama yang populer dalam masyarakat (termasuk masyarakat intelektual) kita, yaitu paradigma “Lakum diinukum wa lii yadiin” dan paradigma “Kalimatus Sawa” .
Dua paradigma tersebut sama-sama menjadi pilihan, namun nampaknya yang lebih banyak berkembang termasuk dalam dunia akademis ialah paradigma yang pertama, yaitu “Lakum diinukum wa lii yadiin” tanpa bermaksud menyalahkan paradigma yang pertama, penulis berpendapat bahwa harus dilakukan koreksi yang serius atas paradigma itu. Apalagi untuk bicara masalah etika dan nilai agama sebagai perspektif dialog, teramat jauh.
Paradigma yang pertama tercermin setidaknya, pada jargon studi perbandingan agama  yang sangat mashur, yaitu “ Agree in disegreement”. Menurut jargon ini agama adalah entitas terpisah, berbeda, tidak bertitik temu dan tidak memiliki core yang sama. Karena itulah digunakan term “Disegreement”. Namun anehnya, slogan itu diawali dengan istilah “Egree”.
Menurut logika umum, konsep ini mengandung kontradiksi yang sangat serius. Bagaimana mungkin untuk setuju dalam ketidak setujuan? Penulis tidak mengetahui secara pasti kerangka pikir yang digunakan, yang jelas, ia adalah potret paradigma hubungan antaragama kita. Konsep ini memberi kesan bahwa kita dipaksa untuk menyetujui sesuatu yang mula tidak kita setujui. Jika benar, maka sebenarnya landasan awalnya adalah kita tidak menyetujuinya.
Barangkali konsep ini memilki pengertian mengakui pluralitas tapi dengan batas-batas yang tegas. Penggagas dan pengikutnya barangkali mengakui eksistensi agama lain atau dengan kata lain setuju sebagai sebuah entitas sosial. Namun disisi lain nampaknya mereka tidak setuju agama lain sebagai entitas teologis yang sama dihadapan Tuhan. Konsep ini telah menjadikan kebanyakan para ilmuan perbandingan agama mewujudkan paradigma hubungan antaragama yang berpaham “Pluralisme Setengah Hati”.
Menurut penulis paradigma itu muncul akibat dari pemahaman terhadap agama yang terlalu berorientasi simbolistik-formalistik-institusional. Akhirnya menimbulkan persepsi bahwa agama adalah lembaga agama. Tidak ada upaya untuk melampaui itu. Akibatnya tidak jarang terjadi kecurigaan teologis yang tidak berujung. Akhirnya, pemahaman yang berkembang adalah bahwa agama-agama adalah merupakan jalan-jalan yang berbeda dan menuju tujuan yang berbeda. Dan, masing-masing mengklaim bahwa agamanya adalah agama yang paling lurus dan yang paling diakui oleh Tuhan, sedangkan agama orang lain salah. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, paradigma ini melegitimasi “Truth claim”.
Barangkali dengan kata lain mereka mengakui agama lain bermuara pada core yang sama akan tetapi masih terdapat superioritas bahwa jalan spiritual yang paling efektif adalah hanya terdapat pada agama yang mereka anut. Sedangkan yang lain tidak selurus agama kita.- untuk tidak mengatakan salah. Inilah bentuk keagamaan paradigmatik.
Menurut penulis paradigma ini harus didobrak. Untuk itu perlu dilakukan pelucutan terhadap kerangka pikir yang digunakan. Memahami agama tidak lagi mengedepankan bentuk institusi dan produk politik-kulturalnya, melainkan substansi yang diusung oleh setiap agama. Oleh karenanya munculah paradigma “Kalimtus Sawa” yang secara teoritik bertentangan dengan paradigma yang pertama. Paradigma ini memahami agama sebagai entitas sosial, teologi, dan jalan spiritual yang berada sejajar. Setiap agama memang memiliki bentuk formal politik yang beragam, namun mereka memiliki core yang sama yaitu spiritualitas. Karena itu semuanya adalah jalan spiritual yang tidak berbeda kualitasnya. Para pengikut paradigma ini tidak dihantui oleh persoalan kebenaran. Hal ini kerena semua agama adalah benar.
Tentu, kebenaran sebuah agama tidak bisa diukur dari kebenaran agama lain. Ia harus diselami sudut pandang agama yang bersangkutan. Bahkan jika perlu untuk mempelajari agama secara ilmiah seorang harus (dalam tanda kutip) “keluar dari agama” yang tengah dianutnya untuk memperoleh pemahaman yang utuh terhadap objek yang bersangkutan. Menurut penulis bahwa disinilah studi perbandingan agama menempati posisi strategis.
Berangkat dari itulah penulis melihat perlu dilakukan reparadigmatisasi hubungan antar agama. Secara kongkret upaya itu adalah mendobrak paradigma “Lakum diinukum wa lii yadiin” (“Agree in disegreement”) dan diarahkan untuk melakukan revitalisasi paradigma “kalimatus sawa”(lintas simbol) karena persoalannya terletak pada spiritualitas dan terdapat kesadaran bahwa satu-satunya titik temu adalah pada aspek ini, maka gagasan ini mungkin dilakukan hanya dengan dialog spiritual, sebuah model dialog yang mengedepankan aspek institusional dan melampaui batas-batas simbol agama.
Dialog yang selama ini ada adalah dialog yang kering tanpa memiliki landasan filosofis yang jelas. Dialog yang dilakukan adalah dialog simbol yang tentu tidak akan ditemukan titik temunya. Yang dikedepankan adalah aspek normatif formal yang ujung-ujungnya politis. Aspek-aspek yang  mendasar adalah, yakni “ Universal Value” tidak tersentuh. Padahal untuk menjawab tuntutan agama ditengah kompleksitas persoalan global, agama harus melakukan penggalian nilai-nilai universal. Ini tidak bisa lepas dari spiritualitas, sebagai core agama, karena untuk mencapai value mutlak kita memerlukan spiritualisme.
Pluralisme yang digembor-gemborkan harus memiliki landasan filosofis yang kokoh pada spiritualitas. Tanpa itu pluralisme hanyalah semu dan melompat-lompat diatas simbolisme. Untuk membangun pluralisme sejati hanya bisa dilakukan dengan melandaskan pada inti agama yang paling dasar, yaitu spiritualitas. Inilah kekayaan agama; jika kehilangan spiritualitas, maka sesungguhnya agama tidak berarti apa-apa. Kecuali sebagai kekuatan politis ansih.
Peristiwa paradoks agama, seperti terorisme, perang antar agama dan sederet peristiwa tragedi kemanusiaan disepanjang sejarah di dunia ini yang dilakukan dibawah bendera agama, adalah bukti bahwa agama telah meninggalkan core-nya. Pada kondisi ini agama lebih memilih pada entitas formal yang tentu lebih banyak bernuansa politis. Karena itulah tidak jarang agama kembali dipertanyakan oleh sejarah. Agama yang dalam teks-teksnya banyak menjanjikan keselamatan, justru menjadi agen tragedi kemanusiaan dan pembawa kesengsaraan umat manusia.
Namun disini penulis tidak ingin terjebak dan mengidentikan spiritualitas dengan agama. Agama hanyalah satu perangkat untuk memulai perjalanan spiritual. Banyak jalan lain selain agama. Hal ini karena spiritualitas bersifat substantif, sementara (lembaga) agama bersifat simbolistik. Penulis hanya ingin tegaskan bahwa agama merupakan jalan yang cukup potensial dan efektif untuk menjadi jalan spiritual, terutama bagi kalangan awam. Ini karena agama menyediakan cukup konsep untuk itu. Namun catatannya adalah bahwa agama harus dipahami sebagai jalan awal, bukan akhir.
Penulis setuju dengan gagasan dialog etik yang sering diwacanakan. Namun dialog spiritual lebih fundamental dari itu. Hal ini karena, sebagaimana ditulis oleh Hasan Askari, nilai-nilai etis dinyalakan hanya oleh nilai-nilai spiritual akan tetapi konsep dioalog spiritual yang penulis maksud sangat jauh berbeda dengan pemikirah Hasan Askari. Dialog spiritual yang dikonsepsikannya adalah deskripsi perjalanan intelektual religius yang dialaminya. Disana tidak ada tawaran formulasi, terlebih orientasi pada upaya reparadigmatisasi hubungan antaragama.
Konsep dialog spiritual lebih diupayakan untuk memahami agama-agama sebagai kekayaan spiritual untuk manusia. Karena semua agama diberangkatkan dari kebutuhan spiritual, maka sesunggunya spiriutalitas agama-agama adalah satu dan tidak terpancar sebagaimana teologi dan aspek-aspek lain. Inilah titik temu yang mungkin.
Tentu definisi spiritualitas akan menjadi diskusi panjang tersendiri, dan tidak mungkin dikupas disini. Untuk mempermudah ia difahamai sebagai “way to Value”, jalan untuk meraih Tuhan. Dan ia tidak hanya dimiliki oleh agama. Sains, seni, dan juga filsafat merupakan juga jalan yang sangat mungkin untuk meraih spiritualitas. Dialog spiritual agama di tekankan untuk mencari nilai-nilai universal yang diusung agama. Dalam perspektif ini semua agama memiliki aspek nilai yang sama. Karena spiritualitas adalah aspek yang melampaui semua simbol, maka tidak berlebihan kalau paradigma ini disebut paradigma lintas simbol.
Terobosan ini menjadi penting karen kini agama lebih banyak tampil sebagai entitas politik. Sementara lawan dari realitas politik agama adalah spiritualitas. Karenannya untuk menetralisir atau setidaknya meminimalisir nuansa politik agama, hanya dapat dilakukan dengan mengembalikan dan meneguhkan spiritualitas agama-agama. Dengan memahami tawaran ini kita tidak lagi mempersoalkan perbedaan bentuk. Dengan demikian, hubungan antaragama tidak lagi dihantui oleh kecurigaan akibat nuansa politik yang terlalu kental dalam setiap agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar