Minggu, 30 Januari 2011

PROF. DR. H.A. MUKTI ALI
TENTANG

ILMU PERBANDINGAN AGAMA


A.     Biografi Mukti Ali

Keberadaan sosok Mukti Ali dalam wilayah intelektual indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern Ilmu Perbandingan Agama. Oleh sebab itu Mukti Ali sosok yang merintis ilmu perbandingan agama di indonesia. Pembahasan yang ia lakukan merupakan paradigma antara penguasaan tradisi Religionswissenschaft IAHR (International Association for the history of Religion) sebuah asosiasi perkumpulan studi agama maupun persoalan sosio kultural.

Riwayat Hidup Mukti Ali

Diujung timur di daratan kapur utara yang tandus, adalah sebuah kota kecil yang bernama cepu. Kota yang ditengahnya terbentang sungai bengawan solo itu menjadi pembatas dari bagian tengah dari propinsi jawa tengah dan jawa timur. Selama masa pemerintahan kolonial setidaknya hingga awal abad ke-20, daerah cepu pernah terkenal dengan ladang minyaknya yang banyak dan produktif.
Di kota itulah Prof. Dr. A. Mukti Ali dilahirkan. Pada tanggal 23 Agustus 1923. dengan nama kecil Boedjono. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Idris atau H. Abu Ali-nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji- adalah sebagai seorang pedagang tembakau yang sukses. Dia dikenal sebagai seorang orang tua yang shaleh dan dermawan. Khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan dikota cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri diwarisi secara turun temurun oleh keluarga Mukti Ali.
Suasana desa yang penuh dengan keakraban dan kesederhanaan serta kelugasan sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian Boedjono muda kelak dikemudian hari. Demikian juga suasana hidup berdagang yang mendidik orang mandiri dan tidak diatur oleh orang lain, juga sangat berpengaruh pada dirinya. Tak kurang pula suasana pengaruh kehidupan agamis yang dialaminya waktu ia masih kecil.
Boedjono memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh untuk belajar pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik belanda. Pada usia yang sama ia juga terdaftar pada madrasah Diniyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung pada siang hari. Di dua sekolah ini Boedjono terkenal sebagai anak yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya selain ia seorang anak yang pintar dia juga dikenal sebagai seorang anak orang kaya yang bersikap biasa saja. Pada tahun 1940, Boedjono dikirim oleh ayahnya belajar di pondok pesantren Termas Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya.
Ditengah tengah pergumulannya dengan pengalaman keagamaannya, selama di Termas Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal mengorganisasikan kegiatan politik. Ia menjadikan isu-isu politik yang sedang hangat waktu itu sebagai pemicu untuk kegiatan politiknya di pesantren. Di termas Mukti Ali juga mendirikan semacam kelompok kecil yang terdiri dari teman-temannya dimana ia bisa menyampaikan ide-ide politik.
Karir politiknya justru bukan diawali dari dunia politik tapi diawali dari dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of islamic study, McGiil University Montreal Canada, pada 1957, Mukti Ali dipercaya untuk mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, dan di PTAIN Jogjakarta, yang keduanya kemudian menjadi IAIN. Ini berkat pertemuannya dengan K.H. Fakih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai mentri agama.
Pergumulannya didunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain dilingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi mentri Agama, ia adalah disen di Fakultas  Ushuluddin, IAIN Kalijaga. Di lembaga tersebut ia pernah menduduki jabatan sebagai Pembantu Rektor III bidang urusan publik tahun 1964, dari situ ia dipercaya sebagai pembantu rektor I bidang Akademik, 1986. pada tahun 1971, ia dikukuhkan sebagai Rektor Guru besar Ilmu Agama di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

B.     Latar Belakang Pendidikan Mukti Ali

Meskipun Mukti Ali sudah menjadi tokoh politik ditingkat daerah, ia tetap menaruh perhatian besar terhadap dunia akademik. Masa ngajinya semasa kecil, belajar disekolah belanda, dan pergulatan pemikirannya di Termas, semuanya mendorong keputusannya untuk mendaptarkan diri menjadi mahasiswa di sekolah tinggi Islam di Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi Universitas islam indonesia pada tahun 1947.
Dengan kemampuannya berbahasa arab, Belanda, dan Inggris Mukti Ali diterima Di program Sarjana Muda Di Fakultas Sastra  Arab, Universitas Karachi. Ia mengambil sejarah Islam sebagai bidangan spesialisasi.
Setelah lima tahun, Mukti Ali menamatkan program tingkat sarjana Muda dilanjutkan Program Ph.D, di Universitas Karachi. Setelah itu ia meneruskan studinya di Institute of Islamic Study, McGill University Montreal Canada. Ia tiba di Montreal pada tahun 1955, dan Mulai belajar di Universitas itu dengan mengambil spesialisasi pada Ilmu Perbandingan Agama.

C.     Corak berpikir Mukti Ali

Di Universitas McGill inilah, pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah secara Funfamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi agama-agama, dan pertemuannya yang sangat dekat dengan profesor-profesor kajian Islam di Universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli islam berkebangsaan Amerika dengan pemahaman yang sangat simpatik atas islam yang selama ini diabaikan oleh metode belajar pesantren yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersifat simpatik, terhadap wacana kemoderenan dan dibuat terpikat oleh kajian islam di Universitas McGill yang diajarkan dengan pendekatan yang sistematis rasional dan holistik, baik dari segi ajaran sejarah maupun peradabannya. di McGill juga Mukti Ali mendapatkan bahwa belajar islam ataupu agama apapun, mestinya diarahkan pada usaha bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah masyarakat Modern. Atas dasar ini Mukti Ali beranggapan perlu memperkenalkan metode Empiris atas islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah islam dalam konteks moderenitas. Pendekatan seperti itu yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersipat simpatik terhadap wacana kemodernan. Misalnya kebebasan intelektual, konsep kenegaraan, hak-hak wanita dan dialog antar umat beragama.
Hal terpenting yang harus dicatat dalam perkembangan intelektual dan kesadaran keagamaan Mukti Ali ketika ia tinggal , belajar dan bersosialisasi di McGill. Adalah Profesor yang membimbingnya W.C Smith, yang telah mengantarkan perhatiannya yang sangat besar terhadap problem dialog antar umat beragama. Atas kenyataan itulah , Mukti ali dikemudian hari dianggap sebagai sarjana Muslim yang selama hidupnya tidak lelah memperkenalkan kepada masyarakat luas, terutama mahasiswa, perlunya ilmu perbandingan agama. Dan lebih dari itu, sewaktu menjadi mentri agama, dengan begitu kesempitan itu dalam kebijakan publik, Mukti ali menjadikan dialog antar Umat beragama sebagai kebijakan di departemen agama.
Mukti Ali Menamatkan Program studinya di Institute of islamic study McGill University, pada tahun 1957. ia memperoleh gelar Master of Art dengan tesis yang berjudul Bibliografhical Study Of Muhamadiyah Movement in Indonesia.  Pada pertengahan tahun 1957 Mukti Ali kembali ke Indonesia. Seminggu setiba di tanah airdan bertemu dengan keluarga di Cepu, Bapaknya Abu Ali, meninggal dunia. Kematian yang begitu cepat ini kiranya adalah sebuah isyarat kepergian yang menunggu kedatangan putranya, Mukti Ali yang tujuh tahun meninggalkan tanah air.

D.    Karya-karya Mukti Ali

Disamping menjadi guru besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN sunan Kalijaga, Jogjakarta. Mukti Ali memiliki Banyak pengalaman Bidang-Bidang keagamaan didalam maupun diluar negeri.
Mukti Ali dikenal sebagai Cendikiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis yang cukup banyak, sebanyak 32 judul buku. Diantaranya yang populer adalah Pengantar Ilmu Perbandingan Agama(1959 dan 1987), Pemikiran Keagamaan didunia Islam (1990), Masalah-masalah keagamaan dewasa ini (1997), mengenai Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) dan Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979) sembilan Jilid yang ditulis selama periode kementriannya.
selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:
-         Muhammad Iqbal tentang jatuhnya manusia dari surga dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder.
-         “Kebudayaan dalam pendidikan Nasional” dalam Muhajir, evolusi strategi kebudayaan.
-         “Hubungan antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks Teologi di Indonesia, buku penghormatan untuk HUT ke Prof. Dr. P.D Lautihamolo.
-         “Ilmu Perbandingan Agama dan kerukunan Hidup Antar Umat bragama “ dalam samuel Pardede 70th DR. TB.Simatupang, saya adalah orang yang beruntung.

E.     Pengertian Ilmu Perbandingan Agama

Istilah Ilmu Perbandingan Agama adalah Istilah ilmu yang dipakai oleh Mukti Ali dalam berbagai karyanya. Bahkan diteliti lebih dalam lagi, konsep Perbandingan Agama ini telah dijadikan landasan berpikir Mukti Ali dalam mengamati realitas agama.
 kata “Perbandingan” dalam ilmu perbandingan Agama sering menimbulkan salah faham. Maksud kata itu bukan berarti membanding-bandingkan agama, sebagaimana yang banyak dibayangkan orang, melainkan mempunyai pengertian bahwa yang dipelajari adalah berbagai agama atau banyak agama. Maka ahli-ahli pikir telah terpaksa menilai agama mereka masing-masing dalam hubungannya dengan agama lain.
Dalam tataran sosial, kata Perbandingan jika disimak, mengandung unsur kepekaan yang tinggi yang tidak jarang mengandung kecurigaan bahkan permusuhan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dapat diatikan untuk menempatkan suatu pihak lebih unggul dari pihak lain.oleh karena itu perbandingan atau comparative sering berujung dengan kompetisi. Hal ini mengakibatkan banyak orang enggan untuk membandingkan hal-hal yang bersifat berharga yang dimilikinya, mereka khawatir yang dimilikinya itu dinilai lebih buruk dari milik orang lain. Untuk itu janganlah heran jika mendengar ungkapan “righ is Wrong is my Country”
Bagaimanakah dengan perbandingan agama ? jika perbandingan  yang dimaksud adalah untuk menempatkan suatu agama lebih superior dari agama yang lain, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kericuhan dan bahkan permusuhan. Maksud perbandingan agama disini bukalah sebuah apologi, sepserti diungkapkan diatas. Tetapi sebuah bidang ilmu yang mencoba mempelajari unsur-unsur fundamental yang menjadi landasan setiap agama, dengan maksud untuk melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur itu, sehingga seseorang bisa memiliki pandangan yang labih sempurna tentang apa arti pengalaman keagamaan, apa bentuk yang mungkin ada, dan apa yang mungkin dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu Mukti Ali berkata : “Dewasa ini kita melihat kebelakang, tidak anpak nosrtalgia tertentu, pada saat dilahirkannya definisi yang begitu pasti. Dewasa ini tidak ada ilmu yang seperti itu. Bukan sama sekali karena kita meninggalkan cara membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia. Tetapi kita melakukan itu semua dengan hati-hati, dan kita sama sekali telah berhenti untuk melibatkan diri dengan superioritas atau inferioritas dari agama-agama atas ukuran teori evolusi Darwin Spencer.
Begitu pula kata “agama” dalam ilmu perbandingan agama mengandung pengertian yang universal. Artinya agama-agama tersebut tidak ditujukan kepada salah satu agama yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti islam dan kristen saja, melainkan semua agama yang ada selama ini, baik lokal, nasional ataupun multi nasional, yang masih ada dan berkembang maupun yang pernah ada, atau yang masih ada. Tetapi tidak berkembang yang dianut oleh manusia primitif maupun yang dianut oleh masyarakat modern. 
Displin Ilmu Perbandigan Agama bukanlah bertugas untuk mempelajari agama dari sudut teologis atau dari sudut kepercayaan atau keyakinan, dan bukan pula bertujuan untuk mengadakan penilaian (judgement): bahwa suatu agama lebih sah dari agama yang lainnya. Ilmu Perbandingan Agama itu adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari dan mengkaji agama dari sudut atau pendekatan ilmu pengetahuan (saintifik). Oleh karena itu, sebagaimana cabang ilmu penegtahuan lainnya, Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu pengetahuan yang sudah tersusun serta sistematik menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan (logico hypotetico verivicative).
Perbandingan Agama yang dimaksud disini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang beusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, juga perbedaan. Dari pemahaman yang sedemikian itu struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai.
Ilmu Perbandingan Agama akan menguraikan tentang berbagai cara yang dipergunakan orang untuk mencukupi keperluannya akan agama itu dan pelbagai cara yang digunakan untuk menunaikan keharusan-keharusan sesuai dengan kodratnya manusia. Perbandingan agama itu sendiri tidak akan menilai akan cara-cara yang dipergunakan itu betul atau salah. Persoalan betul atau salah itu masuk dalam bidang filsafat agama, hanya saja karena teologi itu sendiri yang menentukan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan sesuatu kepercayaan, maka persoalan betul atau salah itu tidaklah tidak sama sekali disingkirkan oleh perbandingan agama, hanya saja dipertimbangkan dalam tempat yang semestinya.
Menurut Muki Ali, Ilmu Perbandingan Agama ialah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki serta memahami aspek atau sikap keagamaan dari suatu kepercayaan, dalam hubungannya dengan agama-agama lain meliputi persamaan dan perbedaaannya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:
-         Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu yang berusaha mempelajari dan memberi nilai-nilai keagamaan dari suatu agama kemudian dibandingkan satu agama dengan agama lain, untuk menentukan struktur yang pokok dari pengalaman-pengalaman dan konsepsi yang dimilikinya.
-         Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu untuk mengetahui bermacam-macam agama di dunia ini sejak zaman dahulu hingga sekarang.
-         Ilmu Perbandingan adalah suatu ilmu yang menyelidiki agama-agama dengan menggunakan cara historis dari komparatif dalam penyelidikannya, dan juga menggunakan cara-cara ilmiah lainnya, terutama didalam memahami gejala-gejala keagamaan.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1905, rupa=-rupanya waktu telah tiba untuk menulis buku penting pertama tentang sejarah Ilmu Perbandingan Agama, Louis H. Jordan yang menganggap perlu untuk memberikan arti penting Perbandingan Agama sebagai:
….. ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan dan perbedaannya yang sebenarnya, sejauhmana hubungan antara satu agama dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif apabila deianggap sebagai tipe-tipe….
Selanjutnya, berbicara tentang makna perbandingan agama, mau tidak mau harus melibatkan diri dalam pembahasan tentang pluralitas agama. Perspektif perbandingan agama yang identik dengan pluralitas agama, membawa pemahaman bahwa wahyu dalam agama-agama sebagai fakta kebearan harus difahami  sebagai alat yang berupa simbol-simbol verbal (dimensi eksoteris) untuk menuju pada kebenaran mutlak. Simbol-simbol ini benar adanya bahkan diperlukan, tetapi kaum perenis menilai bahwa kata-kata simbol verbal ini bukanlah fakta primordial atau tujuan yang difahami manusia. Disinilah letak kesalahan kaum beragama modern yang kadang terlalu menganggap wahyu dalam bentuk verbal (eksoteris) sebagai kebenaran tertinggi yang tentunya akan membawa mereka ke dalam sikap ekslusif, dan lebih parah lagi pada pengingkaran atas bentuk wahyu yang berbeda dari mereka.
F. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama, sebagian besar bergantung kepada pandangan seseorang terhadap agama-agama, bahkan tentang agamanya sendiri. Perlu dijelaskan tentang objek penelitiannya. Yang dimaksud objek dalam studi ini tiada lain adalah “realitas-realitas”. Realitas ini ada yang materil dan imateril (seperti malaikat fenomena eskatologis dan lain-lain) adalah objek mandiri. Yang tidak mandiri adalah objek yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Namun, kedua-duanya bersifat rohani (objek mandiri dan objek tidak mandiri). Kalau realitasnya materil, maka diperlukan pendekatan dan metode yang materil, begitu juga sebaliknya, jika realitasnya imateril maka diperlukan pendekatan dan metode yang imateril.
Adapun objek perbandingan agama adalah pengalaman agama. Pangkal tolak kita adalah asumsi bahwa pengalaman yang subjektif diobjektifkan dalam berbagai macam ekspresi; dan bahwa ekspresi-ekspresi ini mempunyai struktus positif yang dapat dipelajari. Namun, objek materil penelitian agama seringkali sama dengan ilmu sosial, yakni hubungan antara manusia dengan masyarakat.
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama ini, Ali menyebutkan adanya dua aliran yang saling bertentangan. Pertama, bahwa metode yang harus digunakan dalam mempelajari agama adalah “sui generis” dengan kata lain suatu metode yang hanya dikaji oleh orang-orang artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan metode metode ini sama sekali tidak dapat dibandingkan atau dikaitkan dengan metode-metode yang terdapat dalam berbagai bidang pengetahaun lainnya. Kedua, aliran ini menyatakan bahwa apapun masalah yang yang diteliti, metode yang sah untuk dipergunakan adalah metode “ilmiah”. Istilah “ilmiah” disini dipergunakan dalam arti ganda; dalam arti sempit istilah tersebut menunjukkan metode yang dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Dan dalam pengertian luas menuju pada suatu prosedur yang dikerjakan dengan disiplin yang logis dan utuh dari premis-premis yang telah ditentukan sebelumnya dengan jelas.
Maka metodologi dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang ditempuh dari memecahkan suatu masalah (mulai dari menemukan fakta sampai penyimpulan). Sejalan dengan pengertian diatas tampaknya metodologi adalah ilmu pengetahuan ang mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efisien. Dengan demikian, metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan berdasarkan semestinya secara normatif (das soilen). Karena metode keilmuan tidak mempunyai kapasitas untuk mengungkap wilayah normatif, normativitas hanya bisa diungkap oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan.
Namun, bagi Wach kedua pendektan tersebut kurang tepat dan tidak memadai. Karena dalam ilmu pengetahuan agama modern sudah mulai digunakan metode “sintesis”. Metode ini berasumsi bahwa kebenaran adalah tunggal, alam juga tunggal sehigga pengetahuan harus tunggal. Dengan kata lain, dalam metode harus ada dua syarat: Pertama, metode tersebut harus populer, sebagaimana yang dikehendaki oleh Aristoteles, Aquinas dan Leibniz. Kedua, metode tersebut harus sesuai dengan persoalan yang diteliti. Syarat ini memberi sifat kepada prinsip pertama, yakni “prinsip keterpaduan metode”.
Dalam hal ini kombinasi dari kedua metode tersebut merupakan suatu keharusan. Mengingat semua idealisme dan semua naturalisme termasuk materialisme bangun dan jatuh bersama-sama dengan monisme metodologis. Berpegang pada pendirian tentang keharusan adanya metode sintesis, maka Mukti Ali mengungkapkan bahwa pendekatan-pendekatan ilmiah, seperti pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, antropologis fenomenologis dan lain-lain harus disertai dengan pendekatan khas agama yaitu “dogmatis”. Dengan ini maka pendekatan “religio scientific” atau “ilmiah agamis” harus kita pergunakan dalam mendekati agama.

1.      Metode Sui Generis
Seperti disebutkan diatas bahwa metode ini (sui generis) adalah suatu metode yang hanya bisa dikaji oleh orang-orang yang beragama artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan. Dengan kata lain, dalam diskursus keagamaan sesungguhnya manusia selalu berada pada dimensi historis dan tidak pernah sampai pada dimensi normatif agama. Dimensi normatif agama seperti dijelaskan Ali bersifat sui generis artinya agama menyangkut persoalan-persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, ultimate concern dan begitu seterusnya. Atau seperti yang sering dikatakan oleh para teolog: “agama dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah untuk diperdebatkan atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan dihayati. Disinilah personal agama sebagai suatu yang “diyakini” dan “dihayati”.
Pada permulaan abad ke-19 Scheleirmacher membuat eksposisi sistematis pertama mengenai pandangan tersebut. Yakni menitikberatkan pada kualitas sui generis agama yang ketika itu berkembang di Jerman yang senada dengan tradisi non-rasionalis (disini tradisi “non-rasionalis” disebutkan bukan karena pemikirannya tidak rasional, melainkan karena ia mengangggap aspek non-rasional dari eksistensi manusia menempati posisi sentral dan tidak dapat direduksi). Disini bahwa agama harus difahami bukan sebagai filsafat yang belum matang ataupun sebagai etika primitif, melainkan sebagai sebuah realitas dari sudut kebenaran sendiri, agama tidak berdasarkan pada pengerahuan maupun tindakan, tetapi pada perasaan. Lebih khusus lagi ia berpandangan ada dasarnya agama berasal dari perasaan tentang ketergantungan mutlak. Baik Herder maupun Scheleimecher, sambil menolak bila mereka menganut pemahaman rasionalis terhadap agama. Menentang pencarian dasar-dasar kemasukakalan yang terbukti dengan sendirinya (self aviden reasonableness) bagi sebuah agama yang natural universal.
Pada titik ini semestinya para pemikir dan cendikiawan agama mencoba melakukan reorintasi, reformasi, rekonstruksi dan semacamnya terhadap misi prepetis agama guna menempatkan signifikasi agama dalam dialektika peradaban umat manusia. Karena itu harus difahami bahwa inti dari pandangan sui generis itu adalah keinsafan terhadap sesuatu yang supernatural, sesuatu yang gaib. Untuk menunjukkan yang gaib, Otto memperkenalkan satu istilah baru nominos, kata sifat yang diangkat dari kata Yunani, numen yang berarti hegaiban (yang maha suci) yang tidak dapat ditentukan. Memang kegaiban tidak dapat dipastikan secara rasional. Tidak mungkin menjelaskan kepada seseorang tentang kegaiban itu, kalau mereka itu tidak tahu. Analisis tentang numenus, hanyalah suatu keterangan tentang suatu pengalaman yang menimbulkan perasaan-perasaan yang dari suatu pihak yang lain mempesonakan. Inilah satu kesadaran yang sama sekali tidak bersifat duniawi, bukan inderawi, bukan dari pengalaman panca indera, melainkan dari dasar batin manusia, sumber sejati dari segala pengalaman beragama. Menurut Otto, sumber perasaan itu harus dibedakan dengan segala kemampuan jiwa yang lain, dibedakan dari kemampuan untuk berpikir, dari kemampuan untuk berbuat baik.
Pendek kata, kemampuan mengalami yang gaib adalah satu ketegori sui generis, sati kategori yang datang dengan sendirinya, muncul dari dasar batin manusia dan tidak mungkin dijelaskan dari satu direduksi pada lain sebab atau alasan, tidak pada salah faham, tidak pada kebutuhan akan penjelasan rasional, titik pada perasaan sentimen, atau kebutuhan emosional. Kemampuan beragama, kemampuan mengalami yang adikodrati adalah kemampuan alamiah yang berakar dari dalam atau lubuk hari. Karena bagi Berger, agama merupakan langit-langit sacral yang terbentang diatas kerapuhan dan vurneralibilhas eksistensi manusia yang berpuncak pada kematian. Berger melihat kecemasan manusia dalam menghadapi maut yang merupakan eksistensi dari manusia. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. Manusia adalah makhluk yang terus menerus membangun dunianya lewat eksternalisasi, yaitu pencurahan diri manusia dalam dunia dengan bentuk masyarakat. Apa yang dihasilkan manusia dengan interaksinya itu memperoleh bentuknya yang objektif, menjadi realitas sui generis. Dunia objektif yang ingin dicipta manusia adalah asumsi dari pengalaman manusia yang subjektif diobjektifkan sehingga dunia objektif menjadi dunia subjektif.
2.      Metode Saintifis
Metode ilmiah (scientific method) merupakan suatu cara berpikir dalam mencari pengetahuan. Berpikir disini merupakan kapasitas berimprovisasi atau kemampuan merefleksi aneka kata yang membangun atau beberapa gejala. Proses berpikir menurut John Deway diawali dengan rasa sulit, memberi definisi apa yang dipikirkan membangun reka pemecahan, mencari bukti dan menarik kesimpulan; demikian juga kerja penelitian. Metode keilmuan sebagai suatu perkawinan antara rasionalisme dan empirisme pada hakikatnya merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis dan mengikuti asas pengaturan prosedural-teknik-normatif (sehingga memenuhi validitas ilmiah) atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Begitu ketika metode ilmiah mendekati agama ia hendak mencari informasi tentang agama dari aspek yang muncul dari kenyataan. Agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan histories cultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Pada dimensi ini agama merupakan bagian tak terpisahkan dari entitas peradaban dalam setting perjalanan sejarah. Agama merupakan “rasionalitas” kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio-kultural.
Pengkajian ini idak lepas dan tidak akan luput untuk menggunakan atau mengadaptasi dari ilmu-ilmu social dan budaya. Yang dengan persepsinya masing-masing atau metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia, sehingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. Pendekatan sejarah mengamati proses terjadinya perilaku ini, pendekatan sosiologi mengamati dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan pendekatan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia dan begitu pula pendekatan fenomenologi dan psikologi. Pendekatan metode ilmiah ini boleh dikatakan merupakan suatu pengajaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis dan kritis. Karena sasaran ideal dari metode ini adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, hal ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta itu dengan menggunakan kesangsian-kesangsian sistematis.
Harus disadari bahwa masalah keagamaan, adalah masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman, sama kehidupan lainnya. Prilaku hidup beragama yang amat luas tersebut  dimuka bumi ini, menjadi bagian dari hidup kebudayaan yang dapat dikembangkan  dalam aneka cara yang khas antara suatu lingkup sosio-budaya berbeda dengan lingkup sosisal buada yang lainnya. Dengan adanya berbagai agama yang berbeda-beda dalam kepercayaan “belief” (iman) dan ritus-ritus yang dikembangkan masing-masing untuk menunjukan  perbedaan antara satu sama lainnya, maka pada sisi ini agama-agama kelihatan mencoba mengembangkan diri. Ia memperlihtkan  warnanya yang  universal, terlepas dari konteks kebudayaan. Pada titik ini harus dibedakan antara ajaran agama  dan keberagamaan (religiousity). Keberagamaan dalam arti melakukan kegiatan tertentu pada kehidupan yang berpangkal dari kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Kuasa, pangkal sesuatu dan sebagainya adalah perilaku manusia dapat diamati, dipelajari dan dilukiskan secara sistematis.

3.      Metode Sintesis
Menurut Waardenburgh kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, paling tidak berawal dari dua hal. Pertama, mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajiannya terhadap agama, objektifitas bukan hanya kepada pihak lain tetapi juga kepada diri sendiri. Setiap manusia akan memiliki keterlibatan (involdment) dengan aspek keagamaanm dalam garis kontinum dari positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen terhadap agama tertentu sambil menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan dan ketekunan.
Kedua, secara tradisonal agama difahami sebagai sesuatu yang suci, sacral dan agung. Menempakan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai objek netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan atau bahkan merusak nilai tradisional agama. Keterlibatan para pengikut agama secara bertingkat memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama sebagai objek kajian selalu memiliki resiko berhadapan dengan reaksi para pengikutnya yang tidak jarang cukup patal.
Oleh sebab itu Waardeburgh, sejak awal sudah memprediksi secara eksplisit bahwa persoalan krusial dalam ilmu perbandingan agama adalah metodologi. Ia merupakan oscillation point yang akan menentukan bentuk dan bangunan ilmu perbandingan agama, dalam hubungan dengan realitas objek yang akan dikaji serta prosedur dan cara pengkajian yang akan dipergunakan.
Berbicara mengenai realitas objek, harus dicermati bahwa penampangan realitas agama ternyata seluas kehidupan itu sendiri yang dipastikan mustahil untuk dapat diamati hanya dengan sebuah pendekatan-sehebat apapun ia. Oleh sebab itu, kesadaran metodologis (methodological awareness) perlu dikedepankan, karena hal ini akan menyadari bahwa realitas agama tidak mungkin dapat didekati secara utuh sesuai kapasitasnya, dan tidak ada salah satu pendekatan dalam ilmu perbandingan agama tidak lagi dianggap sebagai kompetitif, apalagi kontradiktif, melainkan komplementer.
Maka kalau ditinjau secara historis, perkembangan metode pendekatan setelah Max Muller dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pendekatan sosiologis, etnologis (berkembang menjadi antropologis), psikologis dan historis. Setelah itu, muncul fenomenologis yang diikuti oleh pendekatan historis fenomenologis. Ilmuan-ilmuan sekarang ini semakin merasakan bahwa penelitian ilmiah mengenai suatu realitas social membutuhkan pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu. Macam-macam perkembangan pendekatan terhadap masalah agama memperhatikan hal yang sama.
Untuk mendapatkan nilai yang sebesar-besarnya dalam Ilmu Perbandingan Agama, maka Ilmu Perbandingan Agama harus ditempatkan dalam hubungan yang semestinya dengan lain-lain ilmu pengetahuan dan agama.
Oleh sebabitu, Mukti Ali mengemukakan perlunya pendekatan “dogmatis”. Akhir-akhir ini pendekatan “dogmatis” dalam kalangan Kristen mendapat konotasi negatif, yaitu sikap yang kurang terbuka terhadap pengalaman baru dan terlalu berpegang pada rumus-rumus ajaran. Namun bukan itulah yang dimaksud oleh Mukti Ali. Yang dimaksud adalah “pendekatan sintesis”. Metode alternatif ini merupakan pendekatan yang ditawarkan sebagai jalan tengah dari perdebatan antara dua kubu yang mempertahankan pemakaian metode sui generis atau metode ilmiah. Metode ini merupakan penggabungan antara metode ilmiah dan teologis.
Metode sintesis berusaha untuk memakai “kaca mata” doktrin agama ketika ingin memahami fakta-fakta agama yang telah dikumpulkan. Artinya, bahasa agama harus dilibatkan dan dimasukkan ke dalam analisis data dalam penelitian studi perbandingan agama, dan barulah penelitian itu akan mampu mengungkapkan makna agama yang diinginkan dan hasil penelitian tersebut mempunyai nilai informasi keagamaan. Menurut Kitagawa metode sintesis pernah popular di kalangan para ahli ilmu agama, Kitagawa menyebutnya dengan metode ilmiah religius (religious-scientific) yang mencoba menawarkan jalan tengah bagi ilmu agama ilmiah. Keilmuan ini harus kompatibel (rukun) dengan ilmu-ilmu lain, sementara nilai-nilai relijiusnya yang khas juga tetap dapat dipertahankan.
Karena karakter utama dari metode ini adalah kehendak untuk menjadikan studi perbandingan agama sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, objektif ilmiah namun tetap memiliki nuansa relijius. Sebenarnya metode-pendekatan ini tidak orisinil, akan tetapi dari Joachim Wach yang kemudian ditransfer menjadi pendekatan ilmiah-agamis (ilmiah cum doktriner). Namun sebenarnya masalah ini belum selesai, karena masalahnya adalah bahwa orang mendekati agama adalah masalah kebenaran. Kebenaran yang bagaimanakah yang dicari studi perbandingan agama? Menurut Mukti Ali, kebenaran yang dicari studi perbandingan agama adalah bukan kebenaran objektif, juga bukan kebenaran subjektif.
Bagaimanakah kebenaran yang objektif itu? Kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dapat diterima oleh si peneliti. Hal ini tentu saja tidak benar, seorang muslim meneliti Kristen tidak bisa menerima kebenaran Kristen. Juga bukan kebenaran subjektif, merupakan kebenaran yang diteliti peneliti saja. Kebenaran yang dicarai studi perbandingan agama adalah phenomenological truth, yaitu kebenaran sebagaimana adanya yang ia miliki dan kita rela memiliki kebenaran itu. Inilah sebenarnya yang dicari studi perbandingan agama.
Maka metode religio-scientific merupakan pendekatan yang paling memadai, dengan demikian paling berhak menguasai dalam mengkaji agama. Pendekatan-pendekatan dari perspektif ilmu-ilmu social empiris “metode historis empiris”, perspektif filsafat yang normatif “metode normatif filosofis” dan teologi yang dogmatis “metode doktrinal teologis” merupakan metodologi keilmuan yang utuh.
Agama sebagai sasaran kajian penelitian sudah banyak dilakukan oleh para sarjana disiplin ilmu. Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai aspek dari agama, baik aspek ide maupun aspek perwujudan dalam kenyataan. Dimulai dari keyakinan dan ajaran yang dimiliki oleh suatu agama hingga pengaruh agama pada kehidupan masyarakat pemeluk agama tersebut. Kalau yang dimaksud metode dalam ilmu perbandingan agama adalah cara untuk memperoleh dan mamahami kebenaran agama dari realitas empiris, atau lebih tepatnya “kebenaran ilmiah agamis”, maka pendekatan tiada lain adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang yang harus ditunjukkan untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh. Dengan demikian pendekatan sifatnya umum. Dalan suatu pendekatan tertentu dapat digunakan bermacam-macam metode, umpamanya seorang Sosiolog akan mengkaji agama pasti akan menerapkan pendekatan metode-metode sosiologis. Begitu pula Sejarawan, Antropolog, Fenomolog, dan lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar belakang keahliannya.
Maka sasaran ideal dari beberapa pendekatan adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, dan bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta tersebut dengan menggunakan kesangsian sistematis. Pendekatan keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan didasarkan semestinya secara normatif (das sollen). Dengan demikian, pendekatan keilmuan yang empiris ini menggunakan dan mengadaptasi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial dan budaya.

1 komentar:

  1. terimakasih lagi butuh nih...

    http://www.alamvagabond.blogspot.com

    BalasHapus