Jumat, 04 Februari 2011

WILFERD CANTWELL SMITH


Pemikiran Tentang  Pluralitas
Pluralitas dan keberegamaan dalam hidup memang tidak bisa di pungkiri lagi di karenakan kehidupan antara Individu dalam kelompok, Wilayah, Negara dan Bangsa berbeda-beda. Perbedaan Latar Belakang menjadi hal utama dalam setiap Fenomena pluralitas. Latar Belakang merupakan pijakan awal bagi seseorang dalam menjalankan kehidupan ini, dan inilah yang dinamakan dengan pengalaman. Pengalaman Seseorang berbeda satu sama lain sehingga membentuk latar belakang masing-masing yang berbeda tersebut. Salah satu diantara Latar Belakang seseorang adalah keyakinan atau Agama, Agama yang di peluk seseorang bias saja berbeda dengan kerabat dekatnya, saudaranya atau bahkan orang tuanya. Gejala demikian merupakan sebuah pluralitas keagamaan.
Wilferd Cantwell Smith memandang bahwa pluralitas tidak saja menarik apabila itu berada dalam satu keluarga, seorang Ayah berbeda Agamanya dengan anak-anaknya ataupun kakaknya berbeda keyakinan dengan adiknya, itu memang sangat menarik untuk di bahas akan tetapi lebih jauh itu sangat menarik apabila di kaji dalam jangkauan sebuah Bangsa dan Negara atau bahkan sebuah tatanan dunia. Dia menegaskan bahwa seseorang tidak bisa menganggap Agama di dunia adalah Agama yang dianutnya atau pun Agama yang benar hanya Agamanya saja, melainkan dia harus membuka pengetahuan dan jendela wawasan seluas-luasnya bahwa Agama di dunia ini banyak dan bermacam-macam dan itulah pluralitas Agama.
Wilferd telah mengemukakan sebuah analisa tentang keyakinan kaum kristiani khususnya para Misionaris, bahwa usaha misionaris sedang dalam krisis berat dan sangat mendalam, karena usaha mereka untuk menarik pengikut tidaklah seluas pada awal-awal keberadaan gerakan ini. Sekarang usaha pelayanan medis dan keahlian lain sebagai sarana langsung untuk melakukan Konversi harus di larang dengan yang di kutip dan (Canthwell Smith 2000:49) Smith kemudian menambahkan analisanya yang di kutip dan Cristian Activities Enaulre Commitae India itu sebagai berikut: Setiap usaha dengan bantuan uang, janji-janji baik moral atau materil dengan tujuan sadar untuk merubah hati nurani atau keyakinan Agama, maka harus dilarang sama sekali. Dengan demikian memaksakan “Kebenaran Agama” pribadi kepada orang lain dengan paksaan tidak dapat di benarkan.
Kebenaran yang kita pegang walaupun itu bersumber kepada Agama tidak dapat lantas begitu saja di paksakan kepada orang lain yang telah mempunyai Kebenaran Agama sendiri pula. Terlepas dari Kebenaran Agama orang lain tersebut sesuai dengan kebenaran yang kita yakini ataupun tidak, Unsur pemaksaan tidak di benarkan kita hanya sebatas mengutarakan dan menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, adapun dia akan menerima ataupun tidak kita tidak berhak untuk memberikannya secara paksa kalau memang orang lain pun juga telah memilikinya.
Pernyataan Wilferd tentang Pluralitas Agama yang ia contohkan dalam gerakan Misionaris India itu, jauh hari sebelumnya telah dinyatakan oleh konsep Islam bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, karena Agama merupakan hati nurani manusia. Agama menyentuh dimensi atau bagian terdalam pada diri manusia, kebenaran dalam agama akan menyentuh diri manusia dengan jalan penyampaian dan penjelasan yang tepat dan unsure pemaksaan apalagi unsure kekerasan tentunya bertolak belakang dengan Kebenaran Agama yang sesungguhnya.
Willferd menyatakan pemikiran orang Kristen, dan tentang Agama Kristen yang dianutnya bahwa beberapa orang Kristen telah membuat pernyataan yang lebih bersemangat bahwa keyakinan Kristen bukanlah salah satu dari “Agama-agama dunia” (Cantwell Smith 2000:55). Dan dengan demikian salah satu untuk memahami pluralisme telah ditemukan bahwa kebenaran yang kita anut bukanlah satu-satunya kebenaran, melainkan ada kebenaran yang dimiliki orang lain.
Dalam satu bukunya tantang Agama yaitu The Meaning End of Religion, ia mengatakan bahwa persoalan yang utama dalam penyelidikan modern adalah: keyakinan orang lain tidak begitu beda dari milik kita (Cantwell Smith 2000:55) keaneka ragaman agama menimbulkan persoalan manusia secara umum. Pada masa lalu peradaban-peradaban yang berbeda mengingkari satu sama lain, pada saat sekarang peradaban-peradaban itu tidak hanya sekedar bertemu akan tetapi saling menembus, saling mencoba bersama memecahkan masalahnya. Kerja sama diantara manusia yang berbeda Agama merupakan suatu tuntutan moral, bahkan pada tingkatan kehidupan social yang paling bawah. Salah satu tantangan bagi para pemikir modern adalah membawa peradaban manusia kepada sebuah tatanan dunia.
Menurut Wilfred keyakinan atau anggapan oaring Kristen yang menyatakan bahwa keimanan kristenlah yang paling benar perlu ditinjau kembali, terutama ketika justifikasi terjadi bahwa keimanan orang diluar Karisten adalah salah sama sekali sebagai seorang Kristen memang wajib mengimani bahwa tanpa pengetahuan dari Yesus Kristus kita tidak akan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi perlu kita ingat bahwa keyakinan Kristen bukanlah satu-satunya keyakinan di Dunia ini, dia mencontohkan suatu perkataan yang ekstreem yang tidak boleh dimiliki oleh orang Kristen: “kami orang yang selamat sedangkan anda orang yang terkutuk, kaim yakin kami telah mengetahui Tuhan dan kami orang yang benar, anda yakin telah mengetahui Tuhan tapi anda salah sama sekali”.
Sebagai seorang Kristen Wilfred tentunya tidak serta merta meninggalkan keyakinannya dikarenakan sebuah pluralisme yang dipegangnya pula melainkan dia mencoba untuk memberikan arahan bahwasannya kita selayaknya menghargai keyakinan orang lain. Keyakinan kita tetap haruslah kita pegang dengan teguh, Wilfred mengatakan bahwa: tanpa pengetahuan tentang Yesus Kristus, manusia benar-benar tidak mengetahui, Tuhan sama sekali. Ini adalah hal yang positif yaitu berasal dari intelektualisasi untuk menerangkan keyakinan dasar yang absolute yang berasal dari Gereja Tuhan.
Pluralitas keberagamaan dunia adalah satu bukti kebenaran wahyu Kristen, dikarenakan apabila wahyu untuk orang Kristen tidak benar, maka mungkin saja Tuhan membiarkan orang hindu memujanya atau orang Islam menaatinya, orang yahudi mengagungkannya atau melaksanakan perintahnya atau pun oarng Budhis merasa kasihan kepada sesamanya tanpa mendapat respon-nya. Tuhan menuntut Wilfred adalah sebagaimana dia adanya, maka manusia yang lain betul-betul hidup dalam kehadirannya dan manusia Kristen pun mengetahui-nya.
Menurut Wilfred manusia tidak terselamatkan oleh pengetahuannya, manusia pun tidak terselamatkan dengan keanggotaan bahwa Gereja, akan tetapi manusia terselamatkan oleh Cinta Kasih Tuhan. Keyakinan Wilfred ini merupakan konsep keyakinan yang diserukan oleh Gereja Lutherian. Dengan demikian dia seorang yang mengangkat pluralisme yang harus dimiliki oaring Kristen, dia juga menegaskan bahwa orang Kristen harus memegang ajarn-ajarannya.
Wilfred mengetengahkan sebuah pemikiran yang sangat mendalam tentang pluralisme Agama, ditengah isu tentang anti-pluralisme kian menghangat. Dia mengungkapkan tentang hal yang lebih mendasar dari sebuah Agama, yaitu darimana Agama itu berasal, dan tentunya sesuatu yang menjadi pegangan bagi umat beragama, hal itu tiada lain adalah Kitab Suci, kitab suci merupakan sesuatu yang dianggap paling sacral selain Tuhan. Kitab suci inilah yang memberikan pengetahuan tentang Tuhan, para Nabi, cara mengagungkan Tuhan dan tentu saja ke-khasan dari Kitab Suci ini sendiri. Wilfred menguraikan konperhensipnya tentang fenomena umum yang terjadi dalam sejarah kitab suci manusia: Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, China dsb. Gejala-gejala kitab suci ini di kemukakanya dalam sebuah buku yang berjudul What Is The Scripture?

Definisi Wilfred Tentang Kitab Suci
Kitab Suci menurut Wilfred adalah: “sebuah fakta manusia dan sejarah”. Dalam kitab suci memuat tentang kehidupan manusia semenjak ala mini diciptakan manusia, mandapatkan arahan dari Tuhan sampai terjadi pertentangan antara manusia dengan Tuhan. Fakta manusia adalah kejadian yang benar-benar terjadi pada manusia, sejarah disini bukan saja menekankan kepada kejadian masa lampau, akan tetapi juga kejadian-kejadian masa yang akan dating yang diramalkan Kitab Suci dan berhubungan sekali dengan masa yang lampau.
Kitab Suci adalah sebuah realitas konsep yang diwarisi dari masa lalu, dan sesuatu yang terkait dengan pluralisme dunia modern dalam kurung (Cantwell Smith 2005:2). Dengan demikian konsep kitab suci tidak terkait hanya pada masa lalu atau masa yang akan dating saja, akan tetapi Kitab Suci sesuai dengan perkembangan zaman oleh karena itulah Kitab Suci dijadikan acuan bagi kehidupan manusia.
Willfred memberikan suatu gambaran tentang pandangan masyarakat barat terhadap Kitab Suci yaitu pada abad yang dimulai kira-kira tahun 1850, golongan-golongan penting di barat telah menolak Agama dan melepaskan diri dari pemikiran tentang Kitab Suci. Mereka mengantikan Kitab Suci yang merujuk kepada istilah Bibel dengan istilah Kitab Suci yang berkesan lebih umum akan tetapi tidak jelas. Sedangkan golongan yang lain tetap mempertahankan konsep bible sebagai komponen penting dalam kehidupan mereka tidak hanya dalam kebaktian gereja saja, hal itu ditunjukan oleh orang-orang protestan dan golongan Yahudi yang taat. Dengan demikian terdapat dua anggapan yang berbeda dalam menyikapi bibel sebagai Kitab Suci bahkan kecenderungan baru ilmu bible pada saat ini adalah memperlakukan bible layaknya literatur-literatur biasa, yang berarti memperlakukan teks bible tidak lagi sebagai Kitab Suci (Posskripural) oleh karena itu penelitian tentang Kitab Suci mutlak sangat diperlukan dan hal itu harus dimulai dari pembahasan tentang sejarah Kitab Suci, lalu kualitasnya yang berubah-ubah sepanjang masa dan kualitasnya dalam konteks kehidupan masyarakat tertentu yang menerima peran itu.
Wilfred mengilustrasikan sebuah contoh dari sebuah kitab yang khusus dari bible yang terdapat dalam keyakinan Yahudi dan Kristen yaitu Kitab kejadian dan Kristen sekarang kurang mendapatkan perhatian. Sebegitu pula Injil Yohanes yang ditafsirkan dalam beberapa cara yang melahirkan permasalahan teologis.

Pandangan Wilfred Tentang Kitab Suci Al-Qur’an
Wilfred Cantwell Smith mengemukakan pendapatnya tentang Kitab Suci Al-Qur’an sebagai salah satu Kitab Suci yang menghubungkan antara makna yang benar dari Kitab Suci dengan makna sejarah. Wilfred mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Al-Qur’an adalah Kitab Suci hanya untuk kawasan terbatas, Al-Qur’an merepresentasikan kebenaran Kosmik Al-Qur’an merepresentasikan keterlibatan masyarakat “.
Al-Qur’an pertama kali muncul memang kepada masyarakat Arab di Mekkah akan tetapi pada perkembangannya Al-Qur’an tidak saja ditunjukan untuk masyarakat Arab, salah satu contohnya adalah seruan dalam Al-Qur’an lebih ditujukan kepada “manusia” bukan manusia Arab atau orang-orang Arab, oleh karena itu kemudian Agama Islam tidak saja dipeluk oleh orang-orang Arab tetapi oleh seluruh umat manusia termasuk orang-orang barat. Inti kekuatan Al-Qur’an adalah kebenaran pokok (Ultimate Truth) yang memberikan semangat kepada umatnya untuk berbuat doctrinal (sesuai dengan ajaran Al-Qur’an) dan social (implementasi dari ajaran Al-Qur’an).
Wilfred dengan teliti mengemukakan bahwa ada beberapa bagian memiliki makna yang berbeda bagi muslim yang berbeda. Dengan demikian ia membicarakan tentang apa yang disebut orang-orang Islam sebagai “metode tafsir” dan memang dalam memahami Al-Qur’an kaum muslimin diperbolehkan untuk menafsirkan ayat. Al-Qur’an menurut pemahaman mereka, dan tentu saja hal itu sepanjang tidak bertentangan dengan kebenaran pokok yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ia mengambil contoh tentang ayat yang berkenaan dengan “perjalanan malam” (isra) dan naiknya Nabi Muhammad kelangit (mi’raj). Menurut Wilfred selama berabad-abad terdapat perbedaan pendapat mengenai hal itu.
Wilfred mengatakan bahwa Al-Qur’an memerankan peran-pormatif, dominasi, pembebasan, spektakuler dalam kehidupan jutaan manusia, para filosof dan petani, pasilitas pedagang, ibu rumah tangga, dan Ilmuan. Peran-peran Al-Qur’an itu akan terlihat bahwa bagaimana Al-Qur’an itu menyalahkan imajinasi, menginspirasikan puisi, membimbing ektasi, memerintahkan hubungan keluarga dan menegaskan hokum pidana dan yang teramat penting adalah memberikan kesalahan kepada jutaan orang yang tersebar luas dalam iklim yang berbeda dan rentetan zaman yang berbeda pula.
Makna Al-Qur’an diungkapkan oleh para sejarawan dengan karakteristiknya yang memiliki makna bagi masyarakat yang berbeda dan waktu yang berbeda Wilfred lebih lanjut menyatakan bahwa makna dalam Al-Qur’an tidaklah satu arus yang tidak pernah berakhir. Makna Kitab Suci yang benar adalah realitas sajarah yang kuat dari serangkaian kesatuan makana actual untuk masyarakat yang berbeda-beda selama berabad-abad.

Pandangan Wilfred Tentang Bibel Dalam Kehidupan Yahudi
Pandangan Wilfred tentang bible sebagai Kitab Suci yang memiliki dua pengertian yaitu “perjanjian lama untuk Gereja” dan “Bible untu kaum Yahudi” menurut Wilfred kata-kata “perjanjian lama” atau Bibel untuk Yahudi akan mendistorsi pemahaman karena akan merendahkan sigripikasi “perjanjian lama” bagi kaum Kristen atau ketidak tepatan bagi Yahudi. Yang lebih bermasalah adalah penunjukan istilah “lama”. Tidak ada masyarakat yang menggunakan Kitab Suci “lama” (old) yang berbeda dengan zaman sekarang. Ia selalu berusaha setiap pagi sebagai kekuatan yang hidup dalam kehidupan, Kitab Suci yang berfungsi sebagai sumber kebenaran abadi yang selalu segar tidak kuno. Orang-orang Yahudi membaca Kitab Suci seakan-akan mereka mendengar Tuhan berbicara langsung sekitika itu juaga. Bagi orang Yahudi Istilah “lama” tidal dalam pengertian yang lebih dulu, permulaan yang kemudian digantikan. Kitab Suci Yahudi mereka memang lama dalam pengertian abadi. Ia tetap bertahan terhadap ujian waktu Kitab Suci ini dilihat sebagai sesuatu yang lama bertahan, otentik dan asli ia bukan merupakan atau modifikasi manusia atau sifat manusia yang melewati kebiasaan iseng, namun kekal sejak lama dan tentu akan menentang pada masa depan yang jauh.
Salah satu hal yang paling menarik didalam mengkaji Kitab Agama Yahudi adalah terdapat istilah Taurat. Taurat bermakna sedikit lebih nyala dibandingkan Bible, atau sedikit bermakna substansial dibandingkan Bibel. Taurat adalah pengertian khusus membentuk sebuah bagian dari kuantitatif dari seluruh yang lebih besar yaitu kepada Lima Kitab pertama Bibel kata Taurat memberi kata “T’ kepada Tanakh yang merupakan salah satu bagian dari Kitab Suci. Jadi jelas bahwa Taurat merupakan dari Bibel. Walaupun Taurat bagian dari Bibel tetapi selama berabad-abad telah diagungkan dalam sinagog.


Pandangan Wilfred Tentang Kitab Suci India (Hindu)
Kitab suci India pada awalnya tidak dimasukkan hanya kitab suci agama Hindu saja yaitu Weda akan tetapi seluruh agama-agama yang terdapat di anak benua India seperti agama Budha dan Jaina. Mengingat agama tersebut lahir dan berkemabang di India, akan tetapi selanjutnya agama Budha tidak saja terdapat di India namun berkembang luas ke daerah utara yaitu China. Begitu pula agama Jaina yang muncul lebih awal walaupun mendapat pengikut yang cukup banyak akan tetapi menjadi minoritas, kemudian yang menjadi mayoritas tetaplah agama hindu yang semula bernama agama brahma atau agama weda. Nama hindu merupakan pernyataan tentang agama brahma adalah agama seluruh dunia.
Wilfred bukan merupakan orang pertama yang tertarik dan meneliti tentang kitab suci agama Hindu. Tokoh yang paling terkenal dalam penelitian kitab suci Agama Hindu adalah Max Muller yang menegumpulkan data-data tentang kitab suci dan mnegumpulkannya dalam buku Scarad Books Of The East yang berjilid-jilid. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh Mircea Eliade yang mengungkapkan keberagaman masyarakat India sesuai dengan ajaran kitab suci. Maka Wilfred menggabungkan informasi dari kedua tokoh tersebut selain juga mengadakan study lapangan yang terpenting diantaranya adalah kitab suci di India yaitu purama yang beragam dan juga kitab suci merupakan sesuatu yang trasenden bagi masyarakat India.
Wilfred beranggapan bahwa Weda adalah kitab suci yang umum dan tidak berbentuk hanya satu seperti kitab Bible bagi orang Yahudi dan Al-Quran bagi orang Islam. Weda brmakna dasar “pengetahuan” lengkapnya istilah tersebut sama dengan bahasa Yunani Oida dan bahasa Jerman Weisen yang berarti “mengetahui” ataupun terdapat dalam bahasa latin Video dan bahasa Inggris Wise yang berarti kecerdasan. Di India istilah Weda dipergunakan untuk pengetahuan yang transcendental yang bisa diakses oleh umat manusia sejak zaman kono melaliu rumusan kata-kata tertentu (Cantel Smith 2005:215). Dengan demikian Weda adalah pengetahuan yang bersifat ghaib yang dituangkan dalam mantra-mantra suci.
Menurut Smith Weda dalam padangan Ilmuan Barat merujuk pada arti yang sempit yaitu salah satu bagian dari Weda, yaitu Rig-Weda yang berisi himne-himne suci yang mempunyai makna; memelihara rasa dekat lalu lintas dua arah antara manusia dengan Tuhan semangat rasa keberagamaan yang suci dkebenaran kesucian. (Centwel Smith, 2005:220). Tugas dari orang selain umat Hindu adalah bukan untuk memahami makna verbal objektif dari teks Weda itu akan tetapi mengakui bahwa kekuatan kesuciannya telah disampaikan pada umat Hindu.
Adapun kitab suci Weda secara umum menyangkut dua hal yaitu rutti yang mempunyai arti mendemgar, yaitu pengetahuan suci yang diadapat oleh para Rsi, dan yang kedua ialah Smriti yang mempunyai arti mengingat, yaitu tulisan-tulisan dari para Pandita mengenai tafsiran dari srutti. Dari Semriti itu kemudian berkembang kitab-kitab tuntunan seperti Purana,  Bhagadvagita, Ramayana, dan lain-lain.
Dalam perkembangan Kitab Suci India tersebut terdapat peralihan yaitu peralihan dari makna suara ke makna Verbal, dari makna Verbal kepada makna Benda yaitu Kertas. Wahyu pertama-tama merupakan suara-suara yang di terima oleh para Rsi kemudian suara itu dilantunkan oleh para Rsi dan setelah beberapa piriode lamanya kemudian wahyu itu di tulis. Dalam hal ini golongan Agamawan (Brahmana) sangat berwenang sekali, sehingga dia di tempatkan pada Kasta tertinggi, karena mereka mempunyai hak untuk mengenalkan ajaran Weda, membacanya dan juga mereka mempunyai wewenang yang tidak di miliki oleh Kasta lain yaitu mengajarkan Kitab Suci Weda.
Wilfred memberikan kesimpulan bahwa dalam mengkaji Kitab Suci Hindu di India bahwa Teks-teks Suci itu di pilih oleh berbagai macam orang pada waktu yang berbeda-beda. Fakta dasar mengenai Kitab Suci di India adalah bagian besar masyarakat Hindu sering, dalam ratusan bentuk yang berbeda-beda, hidup melalui hubungan Skriptural dengan sesama dan dunia sekitarnya. Dalam Hindu, kita telah melihat dua atau tiga Kitab Suci pokok, Rig Weda ada suara abadi dan penyambung hidup diri yang kadang-kadang di terima oleh Rsi untuk umat manusia, pandangan bahwa semua Kitab Suci adalah perkataan Krisna, Tuhan tertinggi dsb. Perbedaan, kekayaan, dan perkembangan yang panjang dalam situasi Hindu hanya mungkin dipahami secara lebih memuaskan dengan mengetahui pengertian manusia yang bertahan terus tentang Realitas Transenden dan realitas yang bisa diterima melalui beraneka ragam bentuk Verbal. Wilfred menyatakan bahwa bagi Umat Hindu dan juga para peneliti yang berusaha memahaminya adalah kesadaran terhadap yang sacral dalam Kitab Suci yang menjadikan Kitab Suci itu dapat di pahami.

Pandangan Wilfred Tentang Kiatab Suci Agama Budha
Wilfred memberikan uraian tentang kitab suci Agama Budha, dimulai dengan pembahasan mengenai gerakan Agama Budha tidak pernah mencoba menggantikan apa yang ditemukannya, namun hanya melengkapi dan memperkaya semata. Hal itu terbukti dengan perluasan agama Budha yang tidak saja berada di wilayah anak benua akan tetapi terus ke utara sampai di China, dan di sanalah kemudian Agama Budha berkembang pesat walaupun masyarakat China, telah memiliki keyakinan lokal. Rahasia sukses dari ajaran Budha adalah selaras dengan ajaran Tao dan Kong Fu Tzu China. Agama Budha tidak menghilangkan kepercayaan daerah asal akan tetapi kemudian melengkapi dan menambah kebermaknaan dari ajaran. Keharmonisan antara ajaran itu dapat kiat lihat dalam sebuah Vihara atau kuil China yang di dalamnya terdapat tiga unsur agama yaitu: Tao, Kong Hu cu dan Budha. Sosok Budha menurut Wilfred adalah seorang yang mengetakan kebenaran masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang atau menjadikan sesuatu yang oleh orang-orang atau generasi berikutnya diulang-ulang. (Cantwel Smith 2005:246).
Pembahasan mengenai kitab suci Budha, menurut Smith sangat erat kaitannya dengan sekte-sekte yang ada dalam agama Budha. Satu sekte terbesar mengumpulkan untuk kelompoknya sendiri sejenis produtivitas dan ekspansi skriptural sebagaimana yang dialami oleh gerakan Budha secara keseluruhan selama abad perkembangannya. Sekte-sekte utama mengambil kata-kata pendiri mereka yang secara teori memiliki otoritas yang sama dengan kata-kata Sidharta, dan secara praktik memilki otoritas yang lebih besar.
Kitab suci agama Budha adalah Tripitaka atau dalam literatur pali disebut Tipitaka, namun berbagai aliran Budha mempunyai pengakuan tersendiri terhadap kitab suci.golongan Threvadin akan berbeda dengan golongan  mahayana, begitu pula dengan golongan-golongan yang lain. Tripitaka yang berarti tiga keranjang ini memuat: pertama sutta pitaka yaitu aturan-aturan morastihdari sang Budha, kedua adalah Vinaya pitaka adalah ucapan sang Budha ataupun orang yang percayai oleh Budha. Keranjang ketiga adalah Abidhama Pitaka yaitu penjelasan makna filosofis dari ucapan sang Budha.gerakan Budha pertama kali dengan menggunakan bahasa lokal, kemudian penerjemah sutra ke dalam bahasa China merupakan satu sejarah penerjemahan yang mengesankan, selanjutnya penerjemahan ke dalam bahasa Tibet juga menjadi prioritas, begitu pula kepada bahasa-bahasa yang lain, dan tentunya dalam setiap penerjemahan terdapat penambahan-penambahan hingga akhirnya sutra yang dimilki oleh setiap bangsa berbeda tebalnya.
Wilfred memberikan contoh tentang pola penulisan kitab suci Budha di China, dan Jepang, di China terdapat dua cara dalam menentukan sutra dan yang kedua adalah menggunakan analogi bagian-bagian kitab suci yang dipilih dari kitab suci yang diakui. Di Jepang terdapat dua golongan sekte yaitu hinron dan Nichiran. Shinran mendapatkan sebuah sutra yang dapat memberikan jawaban atas segala kekecewaan jiwa, begitu pula dengan Nichiren yang menemukan kebenaran abadi yang terdapat dalam sutra lotus.
Inti dari uraiannya tentang kitab suci agama Budha adalah bahwa Sidharta atau Budha tidak mengejarkan papapun secara verbal, pesannya yang utam,a adalah kesunyian dan dalam kesunyian itulah terdapat kebijaksanaan.

Pandangan Wilfred Tentang Naskah Klasik Di China Dan Barat
Selain kitab suci yang terdapat pada agama-agama besar, naskah-naskah suci yang merupakan bagian dari kepercayaan pada masyarakat dan China merupakan sumbangan dari peradaban dunia. Peradaban China dan Barat khususnya Romawi dan Yunani merupakan kebudayaan yang melangkah maju dibandingkan bangsa lain, tentunya setelah peradaban Babilon, India dan Mesir. Walaupun naskah-naskah tersebut jarang dipandang sebagai kitab suci akan tetapi bisa disejajarkan dengan kitab suci karena mempunyai pengaruh yang kuat dalam kepercayaan masayarakat. Dalam naskah Romawi dan Yunani mungkin lebih dikenal dengan mitologinya begitu pula di China, akan tetapi didalamnya pun terdapat unsur moral, etika dan hukum dalam masyarakat.
Wilfred memberikan contoh di China terdapat istilah Ching yang digunakan oleh orang-orang China untuk merujuk kepada kitab-kitab yang memilki setatus khusus dalam kehidupan mereka dan melampaui sesuatu yang berharga. Menurut ilmuaan Barat biasanya menerjemahkan Ching sebagai “kitab suci” yang merujuk pada karya-karya Taois, Budhis dan Konfucian. Interrelasi diantara Ching yang berbeda-beda telah berjalan secara dinamis. Hal ini disebabkan oleh sinkretisme ajaran-ajaran tersebut disamping prinsip ajaran Budha yang sangat bersahabat dengan ajaran-ajaran yang lain.
Dalam pandangan orang barat kitab suci merujuk kepada apa yang diturunkan di Palestina yaitu Bible dengan tambahan Gereja, dan orang-orang Yahudi, sedangkan naskah klasik atau kitab suci klasik itu merujuk kepada literatur berharga yang berasal dari warisan Yunani dan Romawi; banyak orang barat yang memahami “moralitas” dan “Agama” sebagai dua hal yang berbeda. Menurut sebagaian pandangan barat menyatakan bahwa moralitas atau etika terkait dengan warisan dari Yunani dan Romawi sedangkan Agama pada masa moderen terkait warisan dari Palestina. Hal tersebut berkaitan erta dengan penyebaran agama Keristen ke wilayah Barat (Eropa) dimana ditempat asalnya Timur Tengah orang sudah tidak lagi menaruh perhatian. Maka saat itu kemudian Barat membuka pintu gerbang bagi Agama Keristen.
Wilfred menyatakan bahwa pada saat ini khususnya di Eropa, muncul pemisahan yang sinifikan antara Keristen dan Kelasikis. Kalangan deis dan filosof secara khusus menentang Keristen dan mencampakan sebuah bagian dari klasikis dengan ilmu pengetahuan (Cantwell Smith 2005 : 325).
Wilfred memberikan kesimpulan dengan sebuah perkiraan bahwa naskah klasik China (Taois dan Konfusian) dan klasik Yunani-Romawi akan diakui diBarat sebagai kitab suci dan akan membantu pemahaman kita untuk mengetahui makna sebenarnya dari kitab suci serta manfaatnya bagi umat manusia.

Latar Belakang Kehidupan Wilfred Cantmell Smith
  1. Kehidupan Wilfred Cantwell Smith
Wilfred Cantwell Smith, adalah seorang teolog dan sejarawan agama yang lahir di torento, 21 juli 1916. anak kedua dan bungsu dari seorang keluarga yang mempunyai status ekonomi yang mapan, bersahaja. Orangnya punya perusahaan alat tulis ball point parker, di Kanada. Pada usia antara 18 dan 17, ia masuk apper canada collegs, sebuah sekolah menengah bergaya inggris yang terkenal dengan menaranya yang menjadi kebanggaan warga kota di Canada.
Keluarganya termasuk orang yang berada dalam bidang akademik maupun bisnis, hal ini terlihat dalam kehidupan keluarganya banyak saudara sekandungnya mampu memberikan prestasi yang terbaik dan mempunyai popularitas pendidikan yang dapat dibanggakan, kakak W.C. Smith, yaitu Arnold C.S. ia pernah pernah menjadi duta besar Kanada untuk pemerintah Mesir dan di Unisoviet dan pernah juga menjadi sekjen Negara-negara persemakmuran bekas jajahan kerajaan inggris.
Keluarga Smith menganut Agama Kristen aliran presgitarian, dan Wilfred C.S. serta keluarganya merupakan keluarga yang taat dan saleh dalam memeluk kepercayaannya itu sehingga W.C. Smith panatik dan tidak menerima pendapat ajaran kristen dan sekte lain. Biasanya setiap sekte dalam ajaran agama kristen mempunyai sikap dominasi berlebihan yang terkadang menimbulkan komplik sosial dan politik.
Keluarga W.C. Smith yang menganut agama kristen dalam anggota keluarganya itu, plural, ibunya adalah penganut aliran kristen metodis hanya sebatas liberal dan hal ini menjadi pengalaman berharga bagi dirinya dikemudian hari Smith lalu beralih dalam memahami doktrin, tidak hanya secara liberal tetapi ia menjabarkan dan menafsirkan secara intelektual dan terbuka. Dalam melihat dan memahaminya sebagai suatu simbol dan realitas yang agung dan sakral yang tentunya makna dan esensi dari suatu simbolisnya itu.
Dalam memahami keagamaan tentunya dengan keahlian yang ia miliki, dalam hal ini Smith mengakui iman dan kepercayaan sebagai realitas pribadi dan reformasi keagamaan, merupakan hal yang sangat individual, dengan kenyataan tersebut Smith mampu menghargainya atau bahkan anti-pati kepada cara berpikir bebas dan realistis tersebut.
Ketika W.C. Smith menjelang dewasa pikirannya mulai terjadi perubahan yang asalnya bersikap ortodok, tetapi kemudian ia mampu bersikap modern, dan pendapatnya sangat terbuka dan pluralis. Pemikirannya berubah menjadi seperti itu terjadi pada abad 20. ia pada tahun 1939 dengan Mauriel Malkenzre, saat itu Smith berusia sekitar 23 tahun.
Ketika Smith masih kecil, saat ia masih di apper college dan di lescee champollion, Grenot, Perancis, ia menunjukan kemampuan dan otoritas di bidang bahasa dan sejarah, sehingga pengkajian dan studi agamanya menggunakan sejarah hal ini nampak ia memaparkan tentang Islam, dalam bukunya “Islam in Modern History”, disebutkan oleh princeston university perss 1957 di bukunya yang lain. Yaitu “Believe dan History” disebutkan princeston press 1979, W.C Smith menamatkan S-1 nya di universitas totanso dalam bidang orintal studies (kajian-kajian ketimuran) dengan menghususkan diri pada bahasa-bahasa Smith klasik dan sejarah timur dekat, bidang yang mempunyai tradisi tinggi di universitas toronso. Dengan spesialisasinya ini ia cenderung selalu menggunakan analisis sejarah didalam mengkaji suatu teori filsafat, baik teori filsafat hasil pengembangan dirinya maupun orang lain (Abdul Hisyam:100).

  1. Karir Akademik dan Dialog Antar Agama
Setelah menyelesaikan studi dari unversitas toronto, dalam bidang sejarah, bahasa dan dalam bidang oriental studies-nya W.C. Smith melanjutkan jenjang pendidikannya ke Wentminster College Universitas Cambridge, yang pada saat itu ia banyak mengkaji dan mendalami islam dan B. Arab dari seorang Tokoh orientalis, yaitu Professor H. A. R. Gibb, ketika pecah perang dunia, pada tahun 1941 ia pergi ke India, ia menempati suatu kota, yang tingkat pertumbuhan agamanya sangat dominan, dan W. C. Smith menyempatkan diri untuk mengajar sejarah India di Forman Chrintian yang merupakan cabang Universitas Punjab.
W. C. Smith dalam karya pendidikannya, dimulai ketika studi di universitas M. C. Gill, Montreal. Pada saat itu ia dipercaya untuk menjadi W. M. arts Profeson of Komparative Religion, walaupun usia ia relatif masih muda, yaitu berumur sekitar 33 tahun, yang kemudian 2 tahun setelah menjabad sebagai Profesor di Unversitas M. C. Gill, ia mendirikan M. C. Gill Institute of Islamic Stadies yang sekaligus menjadi direkturnya pada tahun 1952 telah dibuka institut tersebut merupakan bagian dari M. C. Gill University, dimana sebagian dari setiap pengajar dan juga mahasiswanya adalah orang-orang islam, dan juga pada masa, pada saat ini ada beberapa sarjana Budis telah diundang untuk berkunjung ke Cikago, Divirity School dll.
Ketika ia memimpin Institute of Islamic Studies, program-program yang di rancangnya adalah tidak pada wilayah gegrafis seperti timur tengah, pada faktor-faktor umum yang mengajukan budaya yang terbentang di Afrika barat dan Asia tengah dan juga Indonesia. Pada tahun 1964 di usianya yang ke 48, ia diangkat menjadi direktur pusat kajian agama –agama dunia yang berapeliasi ke divinty school, Universitas Harvad, sekitar satu dasawarsa di harcard Smith mengumpulkan para mahasiswa dan staf pengajar dari agama-agama dan meminta mereka mengembangkan tologi-tologi mereka satu sama lain Smith sendiri mengemukakan tujuan yang diterima baik dari orang Yahudi maupun orang Budha, baik orang Islam maupun orang kasta yang dijalinnya dalam tradisi akademis (w. c. Smith, 1972:90). Divinty school didirikan oleh penganut aliran prunitianisme yakni dalam agama kristen yang menolak doktrin trinitas atau aliran ini di Amerika Serikat disebut pransendentalisme.
Divinity school di Harvard ia tidak sama dengan M. C. Gill Institute of Islamic Studies. Beberapa programnya dialog yang diadakan di Harvard tak hanya antara kerjasamaan Barat dengan Tradisi-tradisi Asia, melainkan juga secara tidak langsung dengan teologi Kristen, disamping itu pun Smith memalingkan perhatian tidak hanya di fakultas tertentu tetapi ia memberikan perhatian kepada kajian tentang agama di fakultas ilmu dan kesenian yang sasarannya jenjang pasca sarjana.
Saat ini diperlukan sarana-sarana dialog yang merumuskan dan mensistematiskan pertemuan sarjana-sarjana berbagai macam agama, di Amerika utara sudah dimulai dirintis baik di M. C. Gill University, Chicago University dan juga di Harvard University, gerakan semacam ini akan melahirkan konsep lebih efektif, dan menjadikan agama-agama yang berkembang di Asia dan penganutnya sudah lebih siap mengadakan kerja sama dan studi timbal-balik yang bersifat resmi dan akademis pada tingkatan perguruan tinggi, dalam hal ini. Pemikiran yang berkenaan dengan konsep dialog telah memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam perkembangan studi keagamaan di dunia, dan rintisan-rintisan Smith telah membuktikan bahwa ia seorang pemikir yang mampu memahami kenyataan representatif, yang lebih mengutamakan kemanusiaan.
Pada saat ini yang menjadi topik pembicaraan di dunia Barat bukan lagi masalah keilmuan, melainkan lebih mengembangkan aspek-aspek material dan kini beralih kepada hal-hal yang bersifat religi dan mistik. Maka dalam hal ini sangatlah tepat apabila Smith mengajukan penelitian agama, yang lebih kritis dan bersifat kemanusiaan, dan penelitian agama, dengan adanya dialog antar agama merupakan suatu solusi, yang menurut Smith sangat relevan dengan kondisi agama dan transformasi sosial yang semakin global dan pluralis.
Willfred Cantwell Smith dan Teologi Kristen
W. C. Smith memulai pernyataan teolog dengan menjelaskan hubungan moral dan implikasinya dengan Al-Kitab. Dalam hidup moral, hubungan dengan Tuhan diwujudkan dalam hidup nyata. Dalam hidup moral hubungan dengan Tuhan dihayati sebagai keterlibatan dan ketaatan (A. M. Hardjana, 1993:84). Pada tingkat moral wahyu Tuhan dalam Kristus menghadapi rekonsiliasi dan rassakebersamaan yang mendalam sebagaimana yang dikatakan Smith “dari segi moral”.
Sesungguhnya mustahil mendatangi dunia dan berkata kepada sesama yang saleh dan cerdas. Kami selamatkan dan anda di hukum atau kami yakin bahwa kami mengenal Allah dan kami benar. Anda yakin bahwa anda mengenal Allah, namun anda kami keliru.
W. C. Smith mempermasalahkan tentang sebuah teologi Kristen sebagai teologi alternatif pada saat ini, karena Kristen secara serius menampilkan sebuah teologi, dalam perputaran atau perkembangan agama Kristen merupakan pormasi yang berkesinambungan, yang berkenaan dengan budaya sekuler dan kesenangan. Hal itu sadar diperkenalkan oleh kesadaran baru gereja tentang kepercayaan umat yang lain dengan permasalahan dan pemikiran Kristen. Dalam hal ini mereka membahas kepada pelaku dan juga sebagai objek dalam penyelidikan secara antusias.
Sebuah catatan tentang teologi agama-agama yang mempunyai penjelasan dan kemurnian hubungan teologi Kristen tentang agama-agama, yang masih disusun secara eksplisit dalam kepercayaannya. Agar tidak akan terjadi kesalahpahaman jika perpaduan teologi menjadi hanya milik orang Kristen, tidak hanya sebagai relatisme , satu pilihan dari beberapa pilihan yang semua sama-sama terbuka, yaitu dogma, sebuah penghambaan, yang mana hal itu dapat dilihat sebagai sebuah rasionalisasi, dibandingkan dari sebuah penyelesaian permasalahan. Kemudian ini menampilkan secara apologis, tetapi bukan ketidak adilan.
Seorang ilmuan yang mencari pertemuan dalam sebuah pendebatan yang bersikap apriori, tetapi seorang yang ingin mengetahui intelektual, informasi, dan ketulusan hati.
Teologi Kristen tentang perkawinan, kebebasan polotik, penyatuan kepercayaan, teologi, pernyataan intelektual, dan pemikiran seseorang akan tampak, tetapi damana tidak terdapat teologi Kristen tentang agama lain, sebab setiap agama membahas beberapa hal-hal perasaan diluarnya. Teologi yang menyimpan tentang hal itu secara kohepensi. Pandangan Smith mengenai kepercayaanverbal adalah penting, menyeluruh dan bernilai tinggi, tetapi dalam kepercayaan ini tidak dapat dibahas pelaku yang ada diluar penganutnya, teologi ini sendiri adalah sebuah prinsip organis yang mana tidak hanya teoritis, tetapi lebih jauh lagi melihat semua yang terbatas, dalam hubungannya dengan yang tidak terbatas. Dalam komunitas kepercayaan berprinsip menghadirkan keberadaan objek kepercayaan komunitas yang lain, kepercayaan dapat dianalisa hanya dari dalam saja.
Menurut Smith bukan hanya teologi Kristen, yang mengklaim terhadap aspirasi tertentu, pada masa lalu banyak tanggapan yang bertentangan, dan tanggapan tersebut datang karena disebabkan oleh sikap kepemilikan atau yang berpangkal dari kedangkalan, ketidakhati-hatian kepada sesuatu yang nampa. Dalam hal ini pernyataan Smith merupakan sebuah kesimpulan yang menarik untuk ditemukan, tetapi bukan promis yang nyata.
Jika berbicara tentang teologi Kristen mengenai agama-agama yang salah satunya disini ada teologi Islam mengenai agama-agama yang mempunyai komitmen, kriteria. Ada penilaian yang dipandang oleh beberapa agama bahwasannya teologi Islam juga mempunyai terminologi tertentu, esensi kebenaran, dan kepercayaan tentang aliran. Beberapa penafsiran tentang Kristen atau kepercayaan Hindu, oleh seorang muslim dalam Islam masih terdapat salah penafsiran.
Pada tingkatan teoritis, teologi Islam boleh dipandang sebagai kebenaran dan teologi Kristen, kepercayaan Kristen ada yang memandang salah, dalam kontek lain, terjadi sebuah kontradiksi secara terminologi teologi Kristen, beberapa yang akan ditegaskan, disetujui dalam kebenaran tersendiri, mengenai teologi Kristen tentang agama-agama masih sebuah konsep yang sifatnya menandai.
Terakhir, teologi Kristen (islam atau Hindu) tentang Smith mengatakan dirinya hanya tidak sebagai pelaku dalam sebuah keraguan sebagai objeknya dan penafsiran apakah yang harus diartikan, dan juga yang harus dimunculkan di lapangan (W. C. Smith, 1951:110).

Karya-karya Wilfred dan W. C. Smith
Karya Wilfred C Smith yang dituliskan banyak tersebar diberbagai jurnal ilmiah, artikel-artikel yang ditulis kebanyakan mengenai masalah-masalah agama, sosial, pendidikan, kajian tentang dunia Barat dan Timur, serta tentang Islam. Bahkan Smith pun memberikan tanggapan secara serius tentang studi P. A.
Karya-Karya Smith yang Diterbitkan
  1. Modern Islam in India A. Sosial Analisis, A. diterbitkan Minerva, Lahore, 1943, Edisi Revisi ini diterbitkan Penerbit V. Collaneg, London, 1946: dicetak ulang oleh SH. M. Ashar, Lahore, 1963 dan 1969, juga oleh Penerbit Russell, New York, 1972, Edisi bajakan tahun 1947 oleh Penerbit Rippon, Lahore dengan bab tambahan Towards Pakistan.
  2. Pakistan is and Islamic State, diterbitkan SH. M. ashraf Lahore. 1951.
Islam in Modern History, diterbitkan Penceton University Press, Princeton, 1957.
The Faith of Other Man, diterbitkan Canadian Broadkasting Corpotation, Toronto, 1962, Edisi buku ini sudah disempurnakan diterbitkan oleh Penerbit New American Library, New York, 1963.
The Meaning and End of Religion: A. New Aproach to the Religius Traditions of Mankind, diterbitkan Penerbit Macmillan New York, 1963.
Modernazatuon of a Traditional Society, Penerbit Asia Publishing House. Bombay, Calcutta, 1956.
Question of Religious Truth diterbitkan Charles Seribners Sons, New York.
Religious Deversity, disunting Willard G. Oxtoby, dan diterbitkan Harper dan Row, New York and London, 1976.
Believe and History, diterbitkan Princeton University Press, Princeton, 1979.
Towards a World Theology, Penerbit Macmullan London, dan Westminster, Philadelphia, 1951. 



Rabu, 02 Februari 2011

MIRCEA ELIADE

Riwayat Hidup Mircea  Eliade
Mircea Eliade dilahirkan di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak seorang pegawai kemiliteran Rumania. di masa kecilnya, Eliade suka menyendiri, menyenangi sains, sejarah dan menulis. karena keseriusannya dalam menulis sehingga pada usia 18 tahun dia merayakan penerbitan artikelnya yang keseratus. oleh karena itu dia diminta oleh penerbit Surat kabar setempat untuk menulis kolom fiktif dan meresensi buku.
Eliade menjalankan studinya di Universitas Bukharest dan Italia Eliade mempelajari pikiran-pikiran mistik platorus dari tokoh-tokoh renesainse Italia, disaat mempelajari pemikiran ini dia bertemu dengan pemikiran hindu dan yang menitik beratkan penyatuan spiritual dengan roh agung (supreme soul) diluar dunia ini, selanjutnya dia melanjutkan studinya ke India dibawah bimbingan ilmuawn Surandath Dasgupta. dipenghujung tahun 1928 Eliade diterima di universitas Calcuta dengan bekerja di rumah Dasgupta. namun karena pergaulannya dengan Dagupta begitu dekat dengan berat dia pasangan dan pembimbingnya itu dan beralih mendalami ajaran yoga di Himalaya. diakhir pengalamannya di India dia menyatakan bahwa pengalamannya di India dtelah memberi kesan yang sangat mendalam bagi hidupnya. Terutama karena dia telah menemukan tiga hal : pertama, bahwa jalan hidup bisa berubah dikarenakan sebuah pengalaman sacra mental, kedua, simbol merupakan kunci membuka dunia spiritual. ketiga, semua itu dapat ditemukan dan digali di anak benua India.
            Pada tahun 1931, setelah tiga tahun menetap di India, Eliade kembali ke Rumania untuk menunaikan tugas militerdi Rumania kemudian dia meneruskan bakat menulisnya sampai tahun 1933 dalam usia yang sangat muda 26 tahun, dia telah menjadi seorang selebritis dengan terbitnya novel yang berjudul Maiberayl (Bengal night) yang diilhami oleh kisah cintanya dengan putri Dasgupta.
            Pada tahun 1936 dia mempublikasikan sebuah karya yang merupakan disertasi doktoralnya yang berjudul “Yoga” : an Essays on the originas of India Mystical Theology” . Studi yang dimuat dalam disertasinya ini merupakan salah satu karyanya dibidang itu. setelah mendapat title doctor ia kemudian mengajari di universitas Bucharest sebagai asisten salah seorang filosof berpengaruh bernama Nae Ionesco yang dikenal sebagai pemimpin organisasi Nasionalis Rumania.
Pada masa perang dunia II, Eliade diangkat pemerintah Rumania sebagai seorang diplomat dan bertugas di Lisbon, Portugal. setelah perang usai dia memilih untuk tidak kembali ke negerinya akan tetapi dia memilih untuk menetap di Paris, dan kemudian mendapat kesempatan untuk emngajar di Ecole des Houtes Etudes. disana dia berhasil menyelesaikan dua buku penting yang berisi wacana pemikiran yang berpengaruh yaitu Patern in Compartive Religion (1949) dan The Myth of eternal Return.
            Pada tahun 1950-an setelah memberikan kuliah-kuliah di Universitas Chicago dia memperoleh gelar professor dari Divinity School dan pada tahun 1962 dia menjadi professor yang ternama, dan seorang ahli agama India, kemudian ia menjadi seorang penasehat bagi generasi muda yang bersemangat untuk meneliti hal-hal mistik terutama yang berasal dari India, dengan bimbingannya itu kemudian setelah 20 tahun kemudian lahirlah 30 orang profesor dibidang perbandingan agama dari yang asalnya hanya 3 orang dengan demikian Mircea Eliade telah melakukan perjalanan studinya sekaligus rohaninya dari mulai India sampai Amerika yang berarti telah mempertemukan dua kutub yang berbeda yaitu timur dan barat.

Karya-karya Mircea Eliade


  1. The Pat of comparative Religion
  2. The Myth of Eternal Return
  3. The Scared and Profane
  4. Methodological Remarks on the of Religious Symbolism, Uch Press 1959, The History of Religion : Essay in Methodology
  5. Ordeal by Labyrinth : Conversationl with Claude Levy – Strauss Rogouet, Unch. Chicago. 1979).
  6. An Orgn Of Indian Mystical Theology, Unch Press Chicago. 1939.

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MIRCEA ELIADE
Konsep yang Sakral dan yang Profan
Mircea Eliade dalam penjelasannya mengenai kebudayaan masyarakat timur pada saat itu mengemukakan sebuah penjelasan tentang yang Sakral dan yang Profan. kedua hal tersebut berhubungan dengan upacara-upacara ritual dan kepercayaan masyarakat India tentang sesuatu yang luar biasa dan menjadikannya sangat istimewa.
Buku The Scared and the Profane (1957) merupakan pengantar singkat yang menjelaskan bahwa dalam memahami agama haruslah mendalam dan diawali oleh langkah yang benar. Eliade menyatakan bahwa para sejarahwan harus keluar dari peradaban modern. dan mencoba untuk memahami kehidupan Archaic (Kuno) dan sangat berbeda dengan kehidupan masa kini. begitu pula untuk memahami arti yang sacral dan yang profane hanya dengan memasuki dunia Archaic lah kita dapat mendapatkan pengetahuan yang luas dan memahami kedua konsep tersebut.
Eliade menjelaskan tentang yang profane adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara acak atau teratur dan sebenarnya tidak terlalu penting. secara ringkas yang profane adalah sesuatu yang biasa dan tidak istimewa. dan dalam kehidupan manusia sangat banyak sekali hal yang biasa.
Adapun yang sacral adalah wilayah yang supranatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan, dan teramat penting.

Yang sakral merupakan hal yang luar biasa
Eliade menjelaskan fenomena yang sacral dalam kebudayaan India yang terdapat dalam ajaran Hindu, Weda adalah suatu hal yang veda merupakan pengetahuan suci, kebijaksanaan suci yang terutama terkandung dalam kumpulan teks yang merupakan wahyu. Kumpulan pertama disebut Sruti, yang merupakan autoritas pertama dalam hal hal religius, mengandung kebenaran ilahi yang sudah dikomunikasikan dan sejak zaman dahulu, baik secara lisan maupun tulisan, serta diturunkan dari generasi ke generasi, kumpulan yang kedua dinamakan smriti, sruti atau smriti keduanya merupakan sesuatu yang sacral dan yang sacral itu dibacakan oleh seseorang maka akan memberikan pengaruh yang luar biasa, hal itu berbeda dengan tulisan biasa maka ketika dibacakan tidak akan berdampak luar biasa ataupun berkekuatan magis akan tetapi tulisan yang sacral ini sangat istimewa.
Pada kepercayaan Hindu zaman dahulu ada anggapan bahwa tidak sembarang orang boleh membedakan atau bahkan mendengar kitab veda. kitab veda cenderung bersifat exlusif bagi orang-orang tertentu yaitu ras arya terutama golongan brahmana. kasta brahmana yang merupakan kasta tertinggi mempunyai wewenang yang lebih dibandingkan yang lain, mereka berhak membaca mengkaji dan mengajarkan veda kepada yang lain. Kesakralan veda berlanjut kepada kesakralan mereka yang dianggap orang suci sebagai pemegang veda. mereka pun berhak melakukan perbuatan kasar kepada kasta dibawahnya yaitu kasta sudra apabila orang-orang sudra berani membaca veda maka seseorang sudra berhak memotong lidahnya. bahkan ketika orang sudra hanya mendengarkan petikan veda pun maka seorang brahmana berhak mencucurkan timah panas ketelinganya.
Hal tersebut diatas adalah suatu anggapan bagaimana kitab suci veda begitu sacralkan, sehingga ketika orang sudra berani membacakan kitab Veda maka akan mengotori kitab itu dan mengurangi kesakralannya, tidak mudah dilupakan dan teramat sangat penting.
Eliade menyatakan pemikirannya tentang yang profane adalah sesuatu yang biasa saja, suatu tempat dimana manusia bisa berbuat salah, bersifat berubah dan dipenuhi chaos.  Yang profane merupakan kebalikan dari yang sacral, manusia mengganggu. yang profane tidak begitu istimewa dan yang terlebih hal itu diluar supranatural.
Konsep Eliade tentang yang sacral sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rudolf Otto, Eliade mengatakan bahwa dalam perjumpaan dengan yang sacral, seseorang seseorang merasa disentuh oleh sesuatu yang nir yang duniawi. tanda-tanda orang yang mengalami perjumpaan ini adalah diantaranya, mereka sedang menyentuh sesuatu realitas yang belum pernah mereka kenal, sebuah dimensi dari eksistensi yang maha kuat, sangat berbeda dan merupakan realitas abadi yang tiada bandingnya.
Eliade mengemukakan contoh-contoh tentang bagaimana seriusnya orang-orang tradisional dalam memahami atau menerapakna metode ilahiah. Otoritas yang sacral mengatur semua kehidupan. misalnya dalam membangun perkumpulan baru. Masyarakat Arkhais (kuno) tidak serta merta memilih tempat. suatu perkampungan mestilah didirikan pada tempat yang memiliki “ Hyerophany “(berasal dari bahasa Yunani hieros dan pharncien yang berarti penampakan yang sacral. tempat tersebut dianggap sebagai titik sentral cosmos karena pernah dikunjungi roh nenek moyang. Biasanya titik pusat yang sacral ini ditandai dengan sebuah pancang, tiang atau benda-benda lain yang menancap ke tanah dan menjulang ke langit. tanda-tanda ini melambangkan tiga bagian alam semesta, surga, bumi dan lapisan bawah bumi (tanah). tanda-tanda tersebut bukan hanya dianggap sebagai axis mundi yang berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti pusat `dunia yang berfungsi sebagai poros utama, tiang penyangga  tempat kehidupan berputar. 
Sesuatu hal yang biasa saja dan terdapat banyak dikehidupan sehari-hari bisa menjadi luar biasa, sebagai contoh bagi masyarakat kuno pemuja dewa-dewa dan didalam peribadatan terlihat dengan menyembah patung sebagai tanda kebesaran. dewa tersebut sebenarnya ada dua hal yang menarik untuk diungkap . pertama, sebuah patung yang terbuat daribatu atau kayu besar yang hanya sebuah benda dan bersifat natural. dan kedua, dewa yang dianggap mempunyai kekuatan luar biasa dan bersifat supranatural. yang sakral (dewa) bisa sifat menghadirkan kesakralannya dalam yang profan (patung) melalui suatu proses yang disebutkan oleh Eliade sebagai “Dialektika yang Sakral”.
Dialektika yang sakral mengandung arti adalah proses mengalirnya yang supranatural dalam kepercayaan bangsa Yunani kuno diasosiasikan dengan lambang “R” maka pada saat itu terjadi Dialektika yang sakral, dengan keyakinan bangsa Yunani terhadap lambang tersebut dapat mewakili kedahsyatan dan kebesaran dewa Zeus.
Secara lebih terperinci Eliade mengemukakan tentang simbol pada masyarakat kuno yaitu dengan penyimbolan dewa langit. dewa-dewa langit menyiratkan sebuah kekuasaan yang berada diatas kita, sesuatu yang tidak terbatas dan kekal abadi dan umumnya langit melambangkan kehidupan surga.
Dalam kepercayaan masyarakat suku, Yoruba di Afrika mereka mempercayai dewa yang berdiam di langit.


Simbol dan Mitos
Mircea Eliade kemudian mengemukakan konsep symbol yang terdapat pada masyarakat kuno dalam mendeskripsikan yang sacral dalam pengalaman normal secara tidak langsung (indirect experience) yang dapat ditemukan dalam simbol-simbol dan mitos-mitos. simbol-simbol itu didasarkan pada prinsip kemiripan dan analogi bentuk dan karakter-karakter sesuatu yang menyebabkan sesuatu itu satu sama lain. begitu pula dalam pengalaman  keagamaan terdapat hal-hal yang kelihatannya sama dengan yang sakral atau menandakan tentang adanya yang sakral dan dapat membuka pintu kepada jalan supranatural. mitos-mitos juga merupakan simbol-simbol yang berupa narasi. mitos bukan hanya sekedar sebuah imajinasi atau petanda-petanda, melainkan imajinasi-imajinasi yang dimuat kedalam bentuk cerita yang mengisahkan dewa-dewa leluhur, para ksatria atau dunia supranatural lainnya.
Dalam kepercayaan hindu terdapat mitos yang terdapat dalam cerita-cerita pewayangan seperti dalam cerita kitab Mahabrata yang mengisahkan peperangan antara perseteruan Pandawa dan Kurawa yang melambangkan perseteruan antara kebaikan dan keburukan, dan disini dapat diceritakan tentang adanya kekuatan dewa Indra sebagai seseuatu yang sakral yang membantu pihak pandawa untuk mengalahkan kejahatan Kurawa walaupun pandawa berkekuatan lebih kecil dalam jumlah dibandingkan dengan kurawa. akan tetapi dengan kekuatan yang sakral tersebut dapat mengalahkan kurawa dan menegakkan keadilan dan perdamaian.
dalam mitologi Yunanipun terdapat kisah-kisah yang menggambarkan tentang adanya kekuatan yang sakral” yang menguasai alam ini ataupun bersatu dengan anasir-anasir alam. seperti kisah tentang dewa Zeus sebagai dewa tertinggi dan diasosiasikan dengan petir ditangannya lalu dibangunlah kuil-kuil untuk pemujaan kepada dewa zeus disertai adanya persembahan-persembahan dan kurban-kurban.
Dalam kuil persembahan dewa Zeus altar tempat pemujaan dewa Zeus kemudian terdapat lambang “R” yang merupakan simbol sakral dewa Zeus, mereka beranggapan masyarakat Yunani dengan lambang “R” ini akan dapat mengantarkan pengalaman mereka kepada dewa zeus tersebut.,
Dalam kepercayaan kristenpun terdapat tanda salib yang oleh sebagian mereka dapat mengantarkan kepada Tuhan Yesus yang mati ditiang salib sewaktu menitis menjadi manusia  yang lahir dari perawan suci Maria untuk menebus dosa manusia. tanda salib itupun terkadang digunakan untuk menghalau kekuatan-kekuatan gaib yang jahat. karena dengan tanda salib tersebut  umat kristiani akan terlindungi.
Eliade kemudian dalam bukunya Pattern in comparative Religionmenyatakan tentang simbol-simbol yang sebenarnya berasal dari hal yang biasa saja dan termasuk wilayah profan. akan tetapi, sewaktu-waktu yang profan tersebut dapat ditransformasikan kedalam yang sakral, seperti sebuah batu sekuntum bunga, sebatang pohon ataupun sebilah keris bisa saja menjadi sesuatu yang sakral asalkan manusia memenuhi dan meyakininya sebagai sesuatu yang dahsyat dan luar biasa.
Disamping simbol-simbol besar seperti langit dan bulan, alam pikiran masyarakat archais juga dipenuhi oleh imajinasi-imajinasi yang lebih rendah. misalnya dimanapun melambangkan alam tanpa bentuk. sebagai makhluk yang baru dalam ritual ritual imitasi dan pertobatan, air berfungsi sebagai pembersih dan penghapus dosa-dosa yang telah dilakukan serta mengembalikan kita kepada sesuatu yang tanpa wujud. dalam ritual hindu sungai gangga dijadikan tempat untuk mensucikan diri, air digunakan dalam ritual pembaptisan pada agama kristen, serta airpun digunakan umat Muslim pada saat mereka bersuci sebelum melaksanakan shalat.
Simbol bebatuan melambangkan hal berbeda dengan air batu memiliki substansi yang keras, kasar dan tidak berubah. ukuran sebuah mata menandangan kehadiran sesuatu yang amat mengagumkan sekaligus menakutkan, memberikan janji-janji sekaligus ancaman yang dalam bahasa latin diistilahkan dengan Fascinasns et thremedum pada upacara-upacara ritual masyarakat kuno, batu sering digunakan sebagai bahan baku pembuat patung atau arca. arca perlambang dewa-dewa. batu-batu tersebut memberikan sebuah kesan tentang kekuatan  yang tidak bisa dihancurkan.
Candi-candi di Bali atau Jawa pada umumnya terbuat dari batu, pada candi Prambanan di Yogya yang merupakan candi hindu yang terbuat dari batu yang melambangkan kekuatan dari dewa-dewa.

Sejarah dan Waktu Sakral
Eliade menyatakan bahwa penyelidikan para ilmuwan tentang simbolisme yang sakral, catatan sejarah kemanusiaan merupakan kunci utama. catatan sejarah akan memberikan penjelasan kepada kita bagaimana masyarakat yang berbeda menanggapi yang sakral. misalnya  gunung-gunung suci atau sungai gangga di India. bagi masyarakat  primitif kejadian sehari-hari seperti bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup adalah sesuatu yang ingin mereka tinggalkan. mereka ingin keluar dari sejarah dan selalu berada dalam alam yang sakral. Eliade mengistilahkan keinginan semacam itu dengan “Nostalgia Surga Firdaus”.
Eliade mengemukakan pemikiran masyarakat archais dalam bukunya The myths of the Eternal Return : Or, cosmos and history, dalam bukunya itu dijelaskan bahwa masyarakat kuno mengakhiri sejarah dan ingin kembali pada satu titik nir waktu ketika sesi dunia mulai diciptakan. masyarakat kuno sangat dipengaruhi oleh misteri kematian, dan menyakini kehidupan ini tidak punya tujuan dan arti sehingga menginginkan sesuatu yang penuh arti, kekal indah dan sempurna. petualangan kehidupan manusia akan tetap berakhir dengan kematian.
Ajaran-ajaran kuno India mengatakan bahwa manusia hidup didunia ini ditakdirkan tanpa harapan, mereka melewati lingkaran kerusakan dan kehancuran, hingga pada akhirnya semua itu lenyap dan segalanya dimulai kembali (reinkarnasi).
Ajaran kelahiran kembali pun terdapat dalam kepercayaan kuno lainnya tetapi dalam bentuk yang berbeda. dalam kalangan masyarakat Yunani kuno dan pengikut zoroaster di Persia, ajaran ini diekspresikan dalam kepercayaan bahwa sejarah manusia hanya terdiri dari satu lingkaran (Daur) yang keluar dari keabadian dan pada suatu saat akan diakhiri untuk selama-lamanya oleh api atau bencana lainnya.. Masyarakat Persia kuno berbeda mereka menganggap bahwa manusia memperoleh kebebasan dengan pengadilan yang diberikan oleh Ahuramazda dewa cahaya dan kebaikan kepada siapa saja yang tidak beriman kepadaNya.


Minggu, 30 Januari 2011

PROF. DR. H.A. MUKTI ALI
TENTANG

ILMU PERBANDINGAN AGAMA


A.     Biografi Mukti Ali

Keberadaan sosok Mukti Ali dalam wilayah intelektual indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern Ilmu Perbandingan Agama. Oleh sebab itu Mukti Ali sosok yang merintis ilmu perbandingan agama di indonesia. Pembahasan yang ia lakukan merupakan paradigma antara penguasaan tradisi Religionswissenschaft IAHR (International Association for the history of Religion) sebuah asosiasi perkumpulan studi agama maupun persoalan sosio kultural.

Riwayat Hidup Mukti Ali

Diujung timur di daratan kapur utara yang tandus, adalah sebuah kota kecil yang bernama cepu. Kota yang ditengahnya terbentang sungai bengawan solo itu menjadi pembatas dari bagian tengah dari propinsi jawa tengah dan jawa timur. Selama masa pemerintahan kolonial setidaknya hingga awal abad ke-20, daerah cepu pernah terkenal dengan ladang minyaknya yang banyak dan produktif.
Di kota itulah Prof. Dr. A. Mukti Ali dilahirkan. Pada tanggal 23 Agustus 1923. dengan nama kecil Boedjono. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Idris atau H. Abu Ali-nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji- adalah sebagai seorang pedagang tembakau yang sukses. Dia dikenal sebagai seorang orang tua yang shaleh dan dermawan. Khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan dikota cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri diwarisi secara turun temurun oleh keluarga Mukti Ali.
Suasana desa yang penuh dengan keakraban dan kesederhanaan serta kelugasan sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian Boedjono muda kelak dikemudian hari. Demikian juga suasana hidup berdagang yang mendidik orang mandiri dan tidak diatur oleh orang lain, juga sangat berpengaruh pada dirinya. Tak kurang pula suasana pengaruh kehidupan agamis yang dialaminya waktu ia masih kecil.
Boedjono memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh untuk belajar pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik belanda. Pada usia yang sama ia juga terdaftar pada madrasah Diniyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung pada siang hari. Di dua sekolah ini Boedjono terkenal sebagai anak yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya selain ia seorang anak yang pintar dia juga dikenal sebagai seorang anak orang kaya yang bersikap biasa saja. Pada tahun 1940, Boedjono dikirim oleh ayahnya belajar di pondok pesantren Termas Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya.
Ditengah tengah pergumulannya dengan pengalaman keagamaannya, selama di Termas Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal mengorganisasikan kegiatan politik. Ia menjadikan isu-isu politik yang sedang hangat waktu itu sebagai pemicu untuk kegiatan politiknya di pesantren. Di termas Mukti Ali juga mendirikan semacam kelompok kecil yang terdiri dari teman-temannya dimana ia bisa menyampaikan ide-ide politik.
Karir politiknya justru bukan diawali dari dunia politik tapi diawali dari dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of islamic study, McGiil University Montreal Canada, pada 1957, Mukti Ali dipercaya untuk mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, dan di PTAIN Jogjakarta, yang keduanya kemudian menjadi IAIN. Ini berkat pertemuannya dengan K.H. Fakih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai mentri agama.
Pergumulannya didunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain dilingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi mentri Agama, ia adalah disen di Fakultas  Ushuluddin, IAIN Kalijaga. Di lembaga tersebut ia pernah menduduki jabatan sebagai Pembantu Rektor III bidang urusan publik tahun 1964, dari situ ia dipercaya sebagai pembantu rektor I bidang Akademik, 1986. pada tahun 1971, ia dikukuhkan sebagai Rektor Guru besar Ilmu Agama di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

B.     Latar Belakang Pendidikan Mukti Ali

Meskipun Mukti Ali sudah menjadi tokoh politik ditingkat daerah, ia tetap menaruh perhatian besar terhadap dunia akademik. Masa ngajinya semasa kecil, belajar disekolah belanda, dan pergulatan pemikirannya di Termas, semuanya mendorong keputusannya untuk mendaptarkan diri menjadi mahasiswa di sekolah tinggi Islam di Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi Universitas islam indonesia pada tahun 1947.
Dengan kemampuannya berbahasa arab, Belanda, dan Inggris Mukti Ali diterima Di program Sarjana Muda Di Fakultas Sastra  Arab, Universitas Karachi. Ia mengambil sejarah Islam sebagai bidangan spesialisasi.
Setelah lima tahun, Mukti Ali menamatkan program tingkat sarjana Muda dilanjutkan Program Ph.D, di Universitas Karachi. Setelah itu ia meneruskan studinya di Institute of Islamic Study, McGill University Montreal Canada. Ia tiba di Montreal pada tahun 1955, dan Mulai belajar di Universitas itu dengan mengambil spesialisasi pada Ilmu Perbandingan Agama.

C.     Corak berpikir Mukti Ali

Di Universitas McGill inilah, pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah secara Funfamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi agama-agama, dan pertemuannya yang sangat dekat dengan profesor-profesor kajian Islam di Universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli islam berkebangsaan Amerika dengan pemahaman yang sangat simpatik atas islam yang selama ini diabaikan oleh metode belajar pesantren yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersifat simpatik, terhadap wacana kemoderenan dan dibuat terpikat oleh kajian islam di Universitas McGill yang diajarkan dengan pendekatan yang sistematis rasional dan holistik, baik dari segi ajaran sejarah maupun peradabannya. di McGill juga Mukti Ali mendapatkan bahwa belajar islam ataupu agama apapun, mestinya diarahkan pada usaha bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah masyarakat Modern. Atas dasar ini Mukti Ali beranggapan perlu memperkenalkan metode Empiris atas islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah islam dalam konteks moderenitas. Pendekatan seperti itu yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersipat simpatik terhadap wacana kemodernan. Misalnya kebebasan intelektual, konsep kenegaraan, hak-hak wanita dan dialog antar umat beragama.
Hal terpenting yang harus dicatat dalam perkembangan intelektual dan kesadaran keagamaan Mukti Ali ketika ia tinggal , belajar dan bersosialisasi di McGill. Adalah Profesor yang membimbingnya W.C Smith, yang telah mengantarkan perhatiannya yang sangat besar terhadap problem dialog antar umat beragama. Atas kenyataan itulah , Mukti ali dikemudian hari dianggap sebagai sarjana Muslim yang selama hidupnya tidak lelah memperkenalkan kepada masyarakat luas, terutama mahasiswa, perlunya ilmu perbandingan agama. Dan lebih dari itu, sewaktu menjadi mentri agama, dengan begitu kesempitan itu dalam kebijakan publik, Mukti ali menjadikan dialog antar Umat beragama sebagai kebijakan di departemen agama.
Mukti Ali Menamatkan Program studinya di Institute of islamic study McGill University, pada tahun 1957. ia memperoleh gelar Master of Art dengan tesis yang berjudul Bibliografhical Study Of Muhamadiyah Movement in Indonesia.  Pada pertengahan tahun 1957 Mukti Ali kembali ke Indonesia. Seminggu setiba di tanah airdan bertemu dengan keluarga di Cepu, Bapaknya Abu Ali, meninggal dunia. Kematian yang begitu cepat ini kiranya adalah sebuah isyarat kepergian yang menunggu kedatangan putranya, Mukti Ali yang tujuh tahun meninggalkan tanah air.

D.    Karya-karya Mukti Ali

Disamping menjadi guru besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN sunan Kalijaga, Jogjakarta. Mukti Ali memiliki Banyak pengalaman Bidang-Bidang keagamaan didalam maupun diluar negeri.
Mukti Ali dikenal sebagai Cendikiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis yang cukup banyak, sebanyak 32 judul buku. Diantaranya yang populer adalah Pengantar Ilmu Perbandingan Agama(1959 dan 1987), Pemikiran Keagamaan didunia Islam (1990), Masalah-masalah keagamaan dewasa ini (1997), mengenai Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) dan Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979) sembilan Jilid yang ditulis selama periode kementriannya.
selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:
-         Muhammad Iqbal tentang jatuhnya manusia dari surga dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder.
-         “Kebudayaan dalam pendidikan Nasional” dalam Muhajir, evolusi strategi kebudayaan.
-         “Hubungan antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks Teologi di Indonesia, buku penghormatan untuk HUT ke Prof. Dr. P.D Lautihamolo.
-         “Ilmu Perbandingan Agama dan kerukunan Hidup Antar Umat bragama “ dalam samuel Pardede 70th DR. TB.Simatupang, saya adalah orang yang beruntung.

E.     Pengertian Ilmu Perbandingan Agama

Istilah Ilmu Perbandingan Agama adalah Istilah ilmu yang dipakai oleh Mukti Ali dalam berbagai karyanya. Bahkan diteliti lebih dalam lagi, konsep Perbandingan Agama ini telah dijadikan landasan berpikir Mukti Ali dalam mengamati realitas agama.
 kata “Perbandingan” dalam ilmu perbandingan Agama sering menimbulkan salah faham. Maksud kata itu bukan berarti membanding-bandingkan agama, sebagaimana yang banyak dibayangkan orang, melainkan mempunyai pengertian bahwa yang dipelajari adalah berbagai agama atau banyak agama. Maka ahli-ahli pikir telah terpaksa menilai agama mereka masing-masing dalam hubungannya dengan agama lain.
Dalam tataran sosial, kata Perbandingan jika disimak, mengandung unsur kepekaan yang tinggi yang tidak jarang mengandung kecurigaan bahkan permusuhan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dapat diatikan untuk menempatkan suatu pihak lebih unggul dari pihak lain.oleh karena itu perbandingan atau comparative sering berujung dengan kompetisi. Hal ini mengakibatkan banyak orang enggan untuk membandingkan hal-hal yang bersifat berharga yang dimilikinya, mereka khawatir yang dimilikinya itu dinilai lebih buruk dari milik orang lain. Untuk itu janganlah heran jika mendengar ungkapan “righ is Wrong is my Country”
Bagaimanakah dengan perbandingan agama ? jika perbandingan  yang dimaksud adalah untuk menempatkan suatu agama lebih superior dari agama yang lain, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kericuhan dan bahkan permusuhan. Maksud perbandingan agama disini bukalah sebuah apologi, sepserti diungkapkan diatas. Tetapi sebuah bidang ilmu yang mencoba mempelajari unsur-unsur fundamental yang menjadi landasan setiap agama, dengan maksud untuk melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur itu, sehingga seseorang bisa memiliki pandangan yang labih sempurna tentang apa arti pengalaman keagamaan, apa bentuk yang mungkin ada, dan apa yang mungkin dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu Mukti Ali berkata : “Dewasa ini kita melihat kebelakang, tidak anpak nosrtalgia tertentu, pada saat dilahirkannya definisi yang begitu pasti. Dewasa ini tidak ada ilmu yang seperti itu. Bukan sama sekali karena kita meninggalkan cara membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia. Tetapi kita melakukan itu semua dengan hati-hati, dan kita sama sekali telah berhenti untuk melibatkan diri dengan superioritas atau inferioritas dari agama-agama atas ukuran teori evolusi Darwin Spencer.
Begitu pula kata “agama” dalam ilmu perbandingan agama mengandung pengertian yang universal. Artinya agama-agama tersebut tidak ditujukan kepada salah satu agama yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti islam dan kristen saja, melainkan semua agama yang ada selama ini, baik lokal, nasional ataupun multi nasional, yang masih ada dan berkembang maupun yang pernah ada, atau yang masih ada. Tetapi tidak berkembang yang dianut oleh manusia primitif maupun yang dianut oleh masyarakat modern. 
Displin Ilmu Perbandigan Agama bukanlah bertugas untuk mempelajari agama dari sudut teologis atau dari sudut kepercayaan atau keyakinan, dan bukan pula bertujuan untuk mengadakan penilaian (judgement): bahwa suatu agama lebih sah dari agama yang lainnya. Ilmu Perbandingan Agama itu adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari dan mengkaji agama dari sudut atau pendekatan ilmu pengetahuan (saintifik). Oleh karena itu, sebagaimana cabang ilmu penegtahuan lainnya, Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu pengetahuan yang sudah tersusun serta sistematik menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan (logico hypotetico verivicative).
Perbandingan Agama yang dimaksud disini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang beusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, juga perbedaan. Dari pemahaman yang sedemikian itu struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai.
Ilmu Perbandingan Agama akan menguraikan tentang berbagai cara yang dipergunakan orang untuk mencukupi keperluannya akan agama itu dan pelbagai cara yang digunakan untuk menunaikan keharusan-keharusan sesuai dengan kodratnya manusia. Perbandingan agama itu sendiri tidak akan menilai akan cara-cara yang dipergunakan itu betul atau salah. Persoalan betul atau salah itu masuk dalam bidang filsafat agama, hanya saja karena teologi itu sendiri yang menentukan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan sesuatu kepercayaan, maka persoalan betul atau salah itu tidaklah tidak sama sekali disingkirkan oleh perbandingan agama, hanya saja dipertimbangkan dalam tempat yang semestinya.
Menurut Muki Ali, Ilmu Perbandingan Agama ialah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki serta memahami aspek atau sikap keagamaan dari suatu kepercayaan, dalam hubungannya dengan agama-agama lain meliputi persamaan dan perbedaaannya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:
-         Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu yang berusaha mempelajari dan memberi nilai-nilai keagamaan dari suatu agama kemudian dibandingkan satu agama dengan agama lain, untuk menentukan struktur yang pokok dari pengalaman-pengalaman dan konsepsi yang dimilikinya.
-         Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu untuk mengetahui bermacam-macam agama di dunia ini sejak zaman dahulu hingga sekarang.
-         Ilmu Perbandingan adalah suatu ilmu yang menyelidiki agama-agama dengan menggunakan cara historis dari komparatif dalam penyelidikannya, dan juga menggunakan cara-cara ilmiah lainnya, terutama didalam memahami gejala-gejala keagamaan.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1905, rupa=-rupanya waktu telah tiba untuk menulis buku penting pertama tentang sejarah Ilmu Perbandingan Agama, Louis H. Jordan yang menganggap perlu untuk memberikan arti penting Perbandingan Agama sebagai:
….. ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan dan perbedaannya yang sebenarnya, sejauhmana hubungan antara satu agama dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif apabila deianggap sebagai tipe-tipe….
Selanjutnya, berbicara tentang makna perbandingan agama, mau tidak mau harus melibatkan diri dalam pembahasan tentang pluralitas agama. Perspektif perbandingan agama yang identik dengan pluralitas agama, membawa pemahaman bahwa wahyu dalam agama-agama sebagai fakta kebearan harus difahami  sebagai alat yang berupa simbol-simbol verbal (dimensi eksoteris) untuk menuju pada kebenaran mutlak. Simbol-simbol ini benar adanya bahkan diperlukan, tetapi kaum perenis menilai bahwa kata-kata simbol verbal ini bukanlah fakta primordial atau tujuan yang difahami manusia. Disinilah letak kesalahan kaum beragama modern yang kadang terlalu menganggap wahyu dalam bentuk verbal (eksoteris) sebagai kebenaran tertinggi yang tentunya akan membawa mereka ke dalam sikap ekslusif, dan lebih parah lagi pada pengingkaran atas bentuk wahyu yang berbeda dari mereka.
F. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama, sebagian besar bergantung kepada pandangan seseorang terhadap agama-agama, bahkan tentang agamanya sendiri. Perlu dijelaskan tentang objek penelitiannya. Yang dimaksud objek dalam studi ini tiada lain adalah “realitas-realitas”. Realitas ini ada yang materil dan imateril (seperti malaikat fenomena eskatologis dan lain-lain) adalah objek mandiri. Yang tidak mandiri adalah objek yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Namun, kedua-duanya bersifat rohani (objek mandiri dan objek tidak mandiri). Kalau realitasnya materil, maka diperlukan pendekatan dan metode yang materil, begitu juga sebaliknya, jika realitasnya imateril maka diperlukan pendekatan dan metode yang imateril.
Adapun objek perbandingan agama adalah pengalaman agama. Pangkal tolak kita adalah asumsi bahwa pengalaman yang subjektif diobjektifkan dalam berbagai macam ekspresi; dan bahwa ekspresi-ekspresi ini mempunyai struktus positif yang dapat dipelajari. Namun, objek materil penelitian agama seringkali sama dengan ilmu sosial, yakni hubungan antara manusia dengan masyarakat.
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama ini, Ali menyebutkan adanya dua aliran yang saling bertentangan. Pertama, bahwa metode yang harus digunakan dalam mempelajari agama adalah “sui generis” dengan kata lain suatu metode yang hanya dikaji oleh orang-orang artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan metode metode ini sama sekali tidak dapat dibandingkan atau dikaitkan dengan metode-metode yang terdapat dalam berbagai bidang pengetahaun lainnya. Kedua, aliran ini menyatakan bahwa apapun masalah yang yang diteliti, metode yang sah untuk dipergunakan adalah metode “ilmiah”. Istilah “ilmiah” disini dipergunakan dalam arti ganda; dalam arti sempit istilah tersebut menunjukkan metode yang dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Dan dalam pengertian luas menuju pada suatu prosedur yang dikerjakan dengan disiplin yang logis dan utuh dari premis-premis yang telah ditentukan sebelumnya dengan jelas.
Maka metodologi dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang ditempuh dari memecahkan suatu masalah (mulai dari menemukan fakta sampai penyimpulan). Sejalan dengan pengertian diatas tampaknya metodologi adalah ilmu pengetahuan ang mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efisien. Dengan demikian, metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan berdasarkan semestinya secara normatif (das soilen). Karena metode keilmuan tidak mempunyai kapasitas untuk mengungkap wilayah normatif, normativitas hanya bisa diungkap oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan.
Namun, bagi Wach kedua pendektan tersebut kurang tepat dan tidak memadai. Karena dalam ilmu pengetahuan agama modern sudah mulai digunakan metode “sintesis”. Metode ini berasumsi bahwa kebenaran adalah tunggal, alam juga tunggal sehigga pengetahuan harus tunggal. Dengan kata lain, dalam metode harus ada dua syarat: Pertama, metode tersebut harus populer, sebagaimana yang dikehendaki oleh Aristoteles, Aquinas dan Leibniz. Kedua, metode tersebut harus sesuai dengan persoalan yang diteliti. Syarat ini memberi sifat kepada prinsip pertama, yakni “prinsip keterpaduan metode”.
Dalam hal ini kombinasi dari kedua metode tersebut merupakan suatu keharusan. Mengingat semua idealisme dan semua naturalisme termasuk materialisme bangun dan jatuh bersama-sama dengan monisme metodologis. Berpegang pada pendirian tentang keharusan adanya metode sintesis, maka Mukti Ali mengungkapkan bahwa pendekatan-pendekatan ilmiah, seperti pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, antropologis fenomenologis dan lain-lain harus disertai dengan pendekatan khas agama yaitu “dogmatis”. Dengan ini maka pendekatan “religio scientific” atau “ilmiah agamis” harus kita pergunakan dalam mendekati agama.

1.      Metode Sui Generis
Seperti disebutkan diatas bahwa metode ini (sui generis) adalah suatu metode yang hanya bisa dikaji oleh orang-orang yang beragama artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan. Dengan kata lain, dalam diskursus keagamaan sesungguhnya manusia selalu berada pada dimensi historis dan tidak pernah sampai pada dimensi normatif agama. Dimensi normatif agama seperti dijelaskan Ali bersifat sui generis artinya agama menyangkut persoalan-persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, ultimate concern dan begitu seterusnya. Atau seperti yang sering dikatakan oleh para teolog: “agama dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah untuk diperdebatkan atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan dihayati. Disinilah personal agama sebagai suatu yang “diyakini” dan “dihayati”.
Pada permulaan abad ke-19 Scheleirmacher membuat eksposisi sistematis pertama mengenai pandangan tersebut. Yakni menitikberatkan pada kualitas sui generis agama yang ketika itu berkembang di Jerman yang senada dengan tradisi non-rasionalis (disini tradisi “non-rasionalis” disebutkan bukan karena pemikirannya tidak rasional, melainkan karena ia mengangggap aspek non-rasional dari eksistensi manusia menempati posisi sentral dan tidak dapat direduksi). Disini bahwa agama harus difahami bukan sebagai filsafat yang belum matang ataupun sebagai etika primitif, melainkan sebagai sebuah realitas dari sudut kebenaran sendiri, agama tidak berdasarkan pada pengerahuan maupun tindakan, tetapi pada perasaan. Lebih khusus lagi ia berpandangan ada dasarnya agama berasal dari perasaan tentang ketergantungan mutlak. Baik Herder maupun Scheleimecher, sambil menolak bila mereka menganut pemahaman rasionalis terhadap agama. Menentang pencarian dasar-dasar kemasukakalan yang terbukti dengan sendirinya (self aviden reasonableness) bagi sebuah agama yang natural universal.
Pada titik ini semestinya para pemikir dan cendikiawan agama mencoba melakukan reorintasi, reformasi, rekonstruksi dan semacamnya terhadap misi prepetis agama guna menempatkan signifikasi agama dalam dialektika peradaban umat manusia. Karena itu harus difahami bahwa inti dari pandangan sui generis itu adalah keinsafan terhadap sesuatu yang supernatural, sesuatu yang gaib. Untuk menunjukkan yang gaib, Otto memperkenalkan satu istilah baru nominos, kata sifat yang diangkat dari kata Yunani, numen yang berarti hegaiban (yang maha suci) yang tidak dapat ditentukan. Memang kegaiban tidak dapat dipastikan secara rasional. Tidak mungkin menjelaskan kepada seseorang tentang kegaiban itu, kalau mereka itu tidak tahu. Analisis tentang numenus, hanyalah suatu keterangan tentang suatu pengalaman yang menimbulkan perasaan-perasaan yang dari suatu pihak yang lain mempesonakan. Inilah satu kesadaran yang sama sekali tidak bersifat duniawi, bukan inderawi, bukan dari pengalaman panca indera, melainkan dari dasar batin manusia, sumber sejati dari segala pengalaman beragama. Menurut Otto, sumber perasaan itu harus dibedakan dengan segala kemampuan jiwa yang lain, dibedakan dari kemampuan untuk berpikir, dari kemampuan untuk berbuat baik.
Pendek kata, kemampuan mengalami yang gaib adalah satu ketegori sui generis, sati kategori yang datang dengan sendirinya, muncul dari dasar batin manusia dan tidak mungkin dijelaskan dari satu direduksi pada lain sebab atau alasan, tidak pada salah faham, tidak pada kebutuhan akan penjelasan rasional, titik pada perasaan sentimen, atau kebutuhan emosional. Kemampuan beragama, kemampuan mengalami yang adikodrati adalah kemampuan alamiah yang berakar dari dalam atau lubuk hari. Karena bagi Berger, agama merupakan langit-langit sacral yang terbentang diatas kerapuhan dan vurneralibilhas eksistensi manusia yang berpuncak pada kematian. Berger melihat kecemasan manusia dalam menghadapi maut yang merupakan eksistensi dari manusia. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. Manusia adalah makhluk yang terus menerus membangun dunianya lewat eksternalisasi, yaitu pencurahan diri manusia dalam dunia dengan bentuk masyarakat. Apa yang dihasilkan manusia dengan interaksinya itu memperoleh bentuknya yang objektif, menjadi realitas sui generis. Dunia objektif yang ingin dicipta manusia adalah asumsi dari pengalaman manusia yang subjektif diobjektifkan sehingga dunia objektif menjadi dunia subjektif.
2.      Metode Saintifis
Metode ilmiah (scientific method) merupakan suatu cara berpikir dalam mencari pengetahuan. Berpikir disini merupakan kapasitas berimprovisasi atau kemampuan merefleksi aneka kata yang membangun atau beberapa gejala. Proses berpikir menurut John Deway diawali dengan rasa sulit, memberi definisi apa yang dipikirkan membangun reka pemecahan, mencari bukti dan menarik kesimpulan; demikian juga kerja penelitian. Metode keilmuan sebagai suatu perkawinan antara rasionalisme dan empirisme pada hakikatnya merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis dan mengikuti asas pengaturan prosedural-teknik-normatif (sehingga memenuhi validitas ilmiah) atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Begitu ketika metode ilmiah mendekati agama ia hendak mencari informasi tentang agama dari aspek yang muncul dari kenyataan. Agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan histories cultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Pada dimensi ini agama merupakan bagian tak terpisahkan dari entitas peradaban dalam setting perjalanan sejarah. Agama merupakan “rasionalitas” kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio-kultural.
Pengkajian ini idak lepas dan tidak akan luput untuk menggunakan atau mengadaptasi dari ilmu-ilmu social dan budaya. Yang dengan persepsinya masing-masing atau metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia, sehingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. Pendekatan sejarah mengamati proses terjadinya perilaku ini, pendekatan sosiologi mengamati dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan pendekatan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia dan begitu pula pendekatan fenomenologi dan psikologi. Pendekatan metode ilmiah ini boleh dikatakan merupakan suatu pengajaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis dan kritis. Karena sasaran ideal dari metode ini adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, hal ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta itu dengan menggunakan kesangsian-kesangsian sistematis.
Harus disadari bahwa masalah keagamaan, adalah masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman, sama kehidupan lainnya. Prilaku hidup beragama yang amat luas tersebut  dimuka bumi ini, menjadi bagian dari hidup kebudayaan yang dapat dikembangkan  dalam aneka cara yang khas antara suatu lingkup sosio-budaya berbeda dengan lingkup sosisal buada yang lainnya. Dengan adanya berbagai agama yang berbeda-beda dalam kepercayaan “belief” (iman) dan ritus-ritus yang dikembangkan masing-masing untuk menunjukan  perbedaan antara satu sama lainnya, maka pada sisi ini agama-agama kelihatan mencoba mengembangkan diri. Ia memperlihtkan  warnanya yang  universal, terlepas dari konteks kebudayaan. Pada titik ini harus dibedakan antara ajaran agama  dan keberagamaan (religiousity). Keberagamaan dalam arti melakukan kegiatan tertentu pada kehidupan yang berpangkal dari kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Kuasa, pangkal sesuatu dan sebagainya adalah perilaku manusia dapat diamati, dipelajari dan dilukiskan secara sistematis.

3.      Metode Sintesis
Menurut Waardenburgh kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, paling tidak berawal dari dua hal. Pertama, mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajiannya terhadap agama, objektifitas bukan hanya kepada pihak lain tetapi juga kepada diri sendiri. Setiap manusia akan memiliki keterlibatan (involdment) dengan aspek keagamaanm dalam garis kontinum dari positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen terhadap agama tertentu sambil menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan dan ketekunan.
Kedua, secara tradisonal agama difahami sebagai sesuatu yang suci, sacral dan agung. Menempakan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai objek netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan atau bahkan merusak nilai tradisional agama. Keterlibatan para pengikut agama secara bertingkat memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama sebagai objek kajian selalu memiliki resiko berhadapan dengan reaksi para pengikutnya yang tidak jarang cukup patal.
Oleh sebab itu Waardeburgh, sejak awal sudah memprediksi secara eksplisit bahwa persoalan krusial dalam ilmu perbandingan agama adalah metodologi. Ia merupakan oscillation point yang akan menentukan bentuk dan bangunan ilmu perbandingan agama, dalam hubungan dengan realitas objek yang akan dikaji serta prosedur dan cara pengkajian yang akan dipergunakan.
Berbicara mengenai realitas objek, harus dicermati bahwa penampangan realitas agama ternyata seluas kehidupan itu sendiri yang dipastikan mustahil untuk dapat diamati hanya dengan sebuah pendekatan-sehebat apapun ia. Oleh sebab itu, kesadaran metodologis (methodological awareness) perlu dikedepankan, karena hal ini akan menyadari bahwa realitas agama tidak mungkin dapat didekati secara utuh sesuai kapasitasnya, dan tidak ada salah satu pendekatan dalam ilmu perbandingan agama tidak lagi dianggap sebagai kompetitif, apalagi kontradiktif, melainkan komplementer.
Maka kalau ditinjau secara historis, perkembangan metode pendekatan setelah Max Muller dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pendekatan sosiologis, etnologis (berkembang menjadi antropologis), psikologis dan historis. Setelah itu, muncul fenomenologis yang diikuti oleh pendekatan historis fenomenologis. Ilmuan-ilmuan sekarang ini semakin merasakan bahwa penelitian ilmiah mengenai suatu realitas social membutuhkan pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu. Macam-macam perkembangan pendekatan terhadap masalah agama memperhatikan hal yang sama.
Untuk mendapatkan nilai yang sebesar-besarnya dalam Ilmu Perbandingan Agama, maka Ilmu Perbandingan Agama harus ditempatkan dalam hubungan yang semestinya dengan lain-lain ilmu pengetahuan dan agama.
Oleh sebabitu, Mukti Ali mengemukakan perlunya pendekatan “dogmatis”. Akhir-akhir ini pendekatan “dogmatis” dalam kalangan Kristen mendapat konotasi negatif, yaitu sikap yang kurang terbuka terhadap pengalaman baru dan terlalu berpegang pada rumus-rumus ajaran. Namun bukan itulah yang dimaksud oleh Mukti Ali. Yang dimaksud adalah “pendekatan sintesis”. Metode alternatif ini merupakan pendekatan yang ditawarkan sebagai jalan tengah dari perdebatan antara dua kubu yang mempertahankan pemakaian metode sui generis atau metode ilmiah. Metode ini merupakan penggabungan antara metode ilmiah dan teologis.
Metode sintesis berusaha untuk memakai “kaca mata” doktrin agama ketika ingin memahami fakta-fakta agama yang telah dikumpulkan. Artinya, bahasa agama harus dilibatkan dan dimasukkan ke dalam analisis data dalam penelitian studi perbandingan agama, dan barulah penelitian itu akan mampu mengungkapkan makna agama yang diinginkan dan hasil penelitian tersebut mempunyai nilai informasi keagamaan. Menurut Kitagawa metode sintesis pernah popular di kalangan para ahli ilmu agama, Kitagawa menyebutnya dengan metode ilmiah religius (religious-scientific) yang mencoba menawarkan jalan tengah bagi ilmu agama ilmiah. Keilmuan ini harus kompatibel (rukun) dengan ilmu-ilmu lain, sementara nilai-nilai relijiusnya yang khas juga tetap dapat dipertahankan.
Karena karakter utama dari metode ini adalah kehendak untuk menjadikan studi perbandingan agama sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, objektif ilmiah namun tetap memiliki nuansa relijius. Sebenarnya metode-pendekatan ini tidak orisinil, akan tetapi dari Joachim Wach yang kemudian ditransfer menjadi pendekatan ilmiah-agamis (ilmiah cum doktriner). Namun sebenarnya masalah ini belum selesai, karena masalahnya adalah bahwa orang mendekati agama adalah masalah kebenaran. Kebenaran yang bagaimanakah yang dicari studi perbandingan agama? Menurut Mukti Ali, kebenaran yang dicari studi perbandingan agama adalah bukan kebenaran objektif, juga bukan kebenaran subjektif.
Bagaimanakah kebenaran yang objektif itu? Kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dapat diterima oleh si peneliti. Hal ini tentu saja tidak benar, seorang muslim meneliti Kristen tidak bisa menerima kebenaran Kristen. Juga bukan kebenaran subjektif, merupakan kebenaran yang diteliti peneliti saja. Kebenaran yang dicarai studi perbandingan agama adalah phenomenological truth, yaitu kebenaran sebagaimana adanya yang ia miliki dan kita rela memiliki kebenaran itu. Inilah sebenarnya yang dicari studi perbandingan agama.
Maka metode religio-scientific merupakan pendekatan yang paling memadai, dengan demikian paling berhak menguasai dalam mengkaji agama. Pendekatan-pendekatan dari perspektif ilmu-ilmu social empiris “metode historis empiris”, perspektif filsafat yang normatif “metode normatif filosofis” dan teologi yang dogmatis “metode doktrinal teologis” merupakan metodologi keilmuan yang utuh.
Agama sebagai sasaran kajian penelitian sudah banyak dilakukan oleh para sarjana disiplin ilmu. Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai aspek dari agama, baik aspek ide maupun aspek perwujudan dalam kenyataan. Dimulai dari keyakinan dan ajaran yang dimiliki oleh suatu agama hingga pengaruh agama pada kehidupan masyarakat pemeluk agama tersebut. Kalau yang dimaksud metode dalam ilmu perbandingan agama adalah cara untuk memperoleh dan mamahami kebenaran agama dari realitas empiris, atau lebih tepatnya “kebenaran ilmiah agamis”, maka pendekatan tiada lain adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang yang harus ditunjukkan untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh. Dengan demikian pendekatan sifatnya umum. Dalan suatu pendekatan tertentu dapat digunakan bermacam-macam metode, umpamanya seorang Sosiolog akan mengkaji agama pasti akan menerapkan pendekatan metode-metode sosiologis. Begitu pula Sejarawan, Antropolog, Fenomolog, dan lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar belakang keahliannya.
Maka sasaran ideal dari beberapa pendekatan adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, dan bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta tersebut dengan menggunakan kesangsian sistematis. Pendekatan keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan didasarkan semestinya secara normatif (das sollen). Dengan demikian, pendekatan keilmuan yang empiris ini menggunakan dan mengadaptasi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial dan budaya.