Jumat, 04 Februari 2011

WILFERD CANTWELL SMITH


Pemikiran Tentang  Pluralitas
Pluralitas dan keberegamaan dalam hidup memang tidak bisa di pungkiri lagi di karenakan kehidupan antara Individu dalam kelompok, Wilayah, Negara dan Bangsa berbeda-beda. Perbedaan Latar Belakang menjadi hal utama dalam setiap Fenomena pluralitas. Latar Belakang merupakan pijakan awal bagi seseorang dalam menjalankan kehidupan ini, dan inilah yang dinamakan dengan pengalaman. Pengalaman Seseorang berbeda satu sama lain sehingga membentuk latar belakang masing-masing yang berbeda tersebut. Salah satu diantara Latar Belakang seseorang adalah keyakinan atau Agama, Agama yang di peluk seseorang bias saja berbeda dengan kerabat dekatnya, saudaranya atau bahkan orang tuanya. Gejala demikian merupakan sebuah pluralitas keagamaan.
Wilferd Cantwell Smith memandang bahwa pluralitas tidak saja menarik apabila itu berada dalam satu keluarga, seorang Ayah berbeda Agamanya dengan anak-anaknya ataupun kakaknya berbeda keyakinan dengan adiknya, itu memang sangat menarik untuk di bahas akan tetapi lebih jauh itu sangat menarik apabila di kaji dalam jangkauan sebuah Bangsa dan Negara atau bahkan sebuah tatanan dunia. Dia menegaskan bahwa seseorang tidak bisa menganggap Agama di dunia adalah Agama yang dianutnya atau pun Agama yang benar hanya Agamanya saja, melainkan dia harus membuka pengetahuan dan jendela wawasan seluas-luasnya bahwa Agama di dunia ini banyak dan bermacam-macam dan itulah pluralitas Agama.
Wilferd telah mengemukakan sebuah analisa tentang keyakinan kaum kristiani khususnya para Misionaris, bahwa usaha misionaris sedang dalam krisis berat dan sangat mendalam, karena usaha mereka untuk menarik pengikut tidaklah seluas pada awal-awal keberadaan gerakan ini. Sekarang usaha pelayanan medis dan keahlian lain sebagai sarana langsung untuk melakukan Konversi harus di larang dengan yang di kutip dan (Canthwell Smith 2000:49) Smith kemudian menambahkan analisanya yang di kutip dan Cristian Activities Enaulre Commitae India itu sebagai berikut: Setiap usaha dengan bantuan uang, janji-janji baik moral atau materil dengan tujuan sadar untuk merubah hati nurani atau keyakinan Agama, maka harus dilarang sama sekali. Dengan demikian memaksakan “Kebenaran Agama” pribadi kepada orang lain dengan paksaan tidak dapat di benarkan.
Kebenaran yang kita pegang walaupun itu bersumber kepada Agama tidak dapat lantas begitu saja di paksakan kepada orang lain yang telah mempunyai Kebenaran Agama sendiri pula. Terlepas dari Kebenaran Agama orang lain tersebut sesuai dengan kebenaran yang kita yakini ataupun tidak, Unsur pemaksaan tidak di benarkan kita hanya sebatas mengutarakan dan menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, adapun dia akan menerima ataupun tidak kita tidak berhak untuk memberikannya secara paksa kalau memang orang lain pun juga telah memilikinya.
Pernyataan Wilferd tentang Pluralitas Agama yang ia contohkan dalam gerakan Misionaris India itu, jauh hari sebelumnya telah dinyatakan oleh konsep Islam bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, karena Agama merupakan hati nurani manusia. Agama menyentuh dimensi atau bagian terdalam pada diri manusia, kebenaran dalam agama akan menyentuh diri manusia dengan jalan penyampaian dan penjelasan yang tepat dan unsure pemaksaan apalagi unsure kekerasan tentunya bertolak belakang dengan Kebenaran Agama yang sesungguhnya.
Willferd menyatakan pemikiran orang Kristen, dan tentang Agama Kristen yang dianutnya bahwa beberapa orang Kristen telah membuat pernyataan yang lebih bersemangat bahwa keyakinan Kristen bukanlah salah satu dari “Agama-agama dunia” (Cantwell Smith 2000:55). Dan dengan demikian salah satu untuk memahami pluralisme telah ditemukan bahwa kebenaran yang kita anut bukanlah satu-satunya kebenaran, melainkan ada kebenaran yang dimiliki orang lain.
Dalam satu bukunya tantang Agama yaitu The Meaning End of Religion, ia mengatakan bahwa persoalan yang utama dalam penyelidikan modern adalah: keyakinan orang lain tidak begitu beda dari milik kita (Cantwell Smith 2000:55) keaneka ragaman agama menimbulkan persoalan manusia secara umum. Pada masa lalu peradaban-peradaban yang berbeda mengingkari satu sama lain, pada saat sekarang peradaban-peradaban itu tidak hanya sekedar bertemu akan tetapi saling menembus, saling mencoba bersama memecahkan masalahnya. Kerja sama diantara manusia yang berbeda Agama merupakan suatu tuntutan moral, bahkan pada tingkatan kehidupan social yang paling bawah. Salah satu tantangan bagi para pemikir modern adalah membawa peradaban manusia kepada sebuah tatanan dunia.
Menurut Wilfred keyakinan atau anggapan oaring Kristen yang menyatakan bahwa keimanan kristenlah yang paling benar perlu ditinjau kembali, terutama ketika justifikasi terjadi bahwa keimanan orang diluar Karisten adalah salah sama sekali sebagai seorang Kristen memang wajib mengimani bahwa tanpa pengetahuan dari Yesus Kristus kita tidak akan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi perlu kita ingat bahwa keyakinan Kristen bukanlah satu-satunya keyakinan di Dunia ini, dia mencontohkan suatu perkataan yang ekstreem yang tidak boleh dimiliki oleh orang Kristen: “kami orang yang selamat sedangkan anda orang yang terkutuk, kaim yakin kami telah mengetahui Tuhan dan kami orang yang benar, anda yakin telah mengetahui Tuhan tapi anda salah sama sekali”.
Sebagai seorang Kristen Wilfred tentunya tidak serta merta meninggalkan keyakinannya dikarenakan sebuah pluralisme yang dipegangnya pula melainkan dia mencoba untuk memberikan arahan bahwasannya kita selayaknya menghargai keyakinan orang lain. Keyakinan kita tetap haruslah kita pegang dengan teguh, Wilfred mengatakan bahwa: tanpa pengetahuan tentang Yesus Kristus, manusia benar-benar tidak mengetahui, Tuhan sama sekali. Ini adalah hal yang positif yaitu berasal dari intelektualisasi untuk menerangkan keyakinan dasar yang absolute yang berasal dari Gereja Tuhan.
Pluralitas keberagamaan dunia adalah satu bukti kebenaran wahyu Kristen, dikarenakan apabila wahyu untuk orang Kristen tidak benar, maka mungkin saja Tuhan membiarkan orang hindu memujanya atau orang Islam menaatinya, orang yahudi mengagungkannya atau melaksanakan perintahnya atau pun oarng Budhis merasa kasihan kepada sesamanya tanpa mendapat respon-nya. Tuhan menuntut Wilfred adalah sebagaimana dia adanya, maka manusia yang lain betul-betul hidup dalam kehadirannya dan manusia Kristen pun mengetahui-nya.
Menurut Wilfred manusia tidak terselamatkan oleh pengetahuannya, manusia pun tidak terselamatkan dengan keanggotaan bahwa Gereja, akan tetapi manusia terselamatkan oleh Cinta Kasih Tuhan. Keyakinan Wilfred ini merupakan konsep keyakinan yang diserukan oleh Gereja Lutherian. Dengan demikian dia seorang yang mengangkat pluralisme yang harus dimiliki oaring Kristen, dia juga menegaskan bahwa orang Kristen harus memegang ajarn-ajarannya.
Wilfred mengetengahkan sebuah pemikiran yang sangat mendalam tentang pluralisme Agama, ditengah isu tentang anti-pluralisme kian menghangat. Dia mengungkapkan tentang hal yang lebih mendasar dari sebuah Agama, yaitu darimana Agama itu berasal, dan tentunya sesuatu yang menjadi pegangan bagi umat beragama, hal itu tiada lain adalah Kitab Suci, kitab suci merupakan sesuatu yang dianggap paling sacral selain Tuhan. Kitab suci inilah yang memberikan pengetahuan tentang Tuhan, para Nabi, cara mengagungkan Tuhan dan tentu saja ke-khasan dari Kitab Suci ini sendiri. Wilfred menguraikan konperhensipnya tentang fenomena umum yang terjadi dalam sejarah kitab suci manusia: Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, China dsb. Gejala-gejala kitab suci ini di kemukakanya dalam sebuah buku yang berjudul What Is The Scripture?

Definisi Wilfred Tentang Kitab Suci
Kitab Suci menurut Wilfred adalah: “sebuah fakta manusia dan sejarah”. Dalam kitab suci memuat tentang kehidupan manusia semenjak ala mini diciptakan manusia, mandapatkan arahan dari Tuhan sampai terjadi pertentangan antara manusia dengan Tuhan. Fakta manusia adalah kejadian yang benar-benar terjadi pada manusia, sejarah disini bukan saja menekankan kepada kejadian masa lampau, akan tetapi juga kejadian-kejadian masa yang akan dating yang diramalkan Kitab Suci dan berhubungan sekali dengan masa yang lampau.
Kitab Suci adalah sebuah realitas konsep yang diwarisi dari masa lalu, dan sesuatu yang terkait dengan pluralisme dunia modern dalam kurung (Cantwell Smith 2005:2). Dengan demikian konsep kitab suci tidak terkait hanya pada masa lalu atau masa yang akan dating saja, akan tetapi Kitab Suci sesuai dengan perkembangan zaman oleh karena itulah Kitab Suci dijadikan acuan bagi kehidupan manusia.
Willfred memberikan suatu gambaran tentang pandangan masyarakat barat terhadap Kitab Suci yaitu pada abad yang dimulai kira-kira tahun 1850, golongan-golongan penting di barat telah menolak Agama dan melepaskan diri dari pemikiran tentang Kitab Suci. Mereka mengantikan Kitab Suci yang merujuk kepada istilah Bibel dengan istilah Kitab Suci yang berkesan lebih umum akan tetapi tidak jelas. Sedangkan golongan yang lain tetap mempertahankan konsep bible sebagai komponen penting dalam kehidupan mereka tidak hanya dalam kebaktian gereja saja, hal itu ditunjukan oleh orang-orang protestan dan golongan Yahudi yang taat. Dengan demikian terdapat dua anggapan yang berbeda dalam menyikapi bibel sebagai Kitab Suci bahkan kecenderungan baru ilmu bible pada saat ini adalah memperlakukan bible layaknya literatur-literatur biasa, yang berarti memperlakukan teks bible tidak lagi sebagai Kitab Suci (Posskripural) oleh karena itu penelitian tentang Kitab Suci mutlak sangat diperlukan dan hal itu harus dimulai dari pembahasan tentang sejarah Kitab Suci, lalu kualitasnya yang berubah-ubah sepanjang masa dan kualitasnya dalam konteks kehidupan masyarakat tertentu yang menerima peran itu.
Wilfred mengilustrasikan sebuah contoh dari sebuah kitab yang khusus dari bible yang terdapat dalam keyakinan Yahudi dan Kristen yaitu Kitab kejadian dan Kristen sekarang kurang mendapatkan perhatian. Sebegitu pula Injil Yohanes yang ditafsirkan dalam beberapa cara yang melahirkan permasalahan teologis.

Pandangan Wilfred Tentang Kitab Suci Al-Qur’an
Wilfred Cantwell Smith mengemukakan pendapatnya tentang Kitab Suci Al-Qur’an sebagai salah satu Kitab Suci yang menghubungkan antara makna yang benar dari Kitab Suci dengan makna sejarah. Wilfred mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Al-Qur’an adalah Kitab Suci hanya untuk kawasan terbatas, Al-Qur’an merepresentasikan kebenaran Kosmik Al-Qur’an merepresentasikan keterlibatan masyarakat “.
Al-Qur’an pertama kali muncul memang kepada masyarakat Arab di Mekkah akan tetapi pada perkembangannya Al-Qur’an tidak saja ditunjukan untuk masyarakat Arab, salah satu contohnya adalah seruan dalam Al-Qur’an lebih ditujukan kepada “manusia” bukan manusia Arab atau orang-orang Arab, oleh karena itu kemudian Agama Islam tidak saja dipeluk oleh orang-orang Arab tetapi oleh seluruh umat manusia termasuk orang-orang barat. Inti kekuatan Al-Qur’an adalah kebenaran pokok (Ultimate Truth) yang memberikan semangat kepada umatnya untuk berbuat doctrinal (sesuai dengan ajaran Al-Qur’an) dan social (implementasi dari ajaran Al-Qur’an).
Wilfred dengan teliti mengemukakan bahwa ada beberapa bagian memiliki makna yang berbeda bagi muslim yang berbeda. Dengan demikian ia membicarakan tentang apa yang disebut orang-orang Islam sebagai “metode tafsir” dan memang dalam memahami Al-Qur’an kaum muslimin diperbolehkan untuk menafsirkan ayat. Al-Qur’an menurut pemahaman mereka, dan tentu saja hal itu sepanjang tidak bertentangan dengan kebenaran pokok yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ia mengambil contoh tentang ayat yang berkenaan dengan “perjalanan malam” (isra) dan naiknya Nabi Muhammad kelangit (mi’raj). Menurut Wilfred selama berabad-abad terdapat perbedaan pendapat mengenai hal itu.
Wilfred mengatakan bahwa Al-Qur’an memerankan peran-pormatif, dominasi, pembebasan, spektakuler dalam kehidupan jutaan manusia, para filosof dan petani, pasilitas pedagang, ibu rumah tangga, dan Ilmuan. Peran-peran Al-Qur’an itu akan terlihat bahwa bagaimana Al-Qur’an itu menyalahkan imajinasi, menginspirasikan puisi, membimbing ektasi, memerintahkan hubungan keluarga dan menegaskan hokum pidana dan yang teramat penting adalah memberikan kesalahan kepada jutaan orang yang tersebar luas dalam iklim yang berbeda dan rentetan zaman yang berbeda pula.
Makna Al-Qur’an diungkapkan oleh para sejarawan dengan karakteristiknya yang memiliki makna bagi masyarakat yang berbeda dan waktu yang berbeda Wilfred lebih lanjut menyatakan bahwa makna dalam Al-Qur’an tidaklah satu arus yang tidak pernah berakhir. Makna Kitab Suci yang benar adalah realitas sajarah yang kuat dari serangkaian kesatuan makana actual untuk masyarakat yang berbeda-beda selama berabad-abad.

Pandangan Wilfred Tentang Bibel Dalam Kehidupan Yahudi
Pandangan Wilfred tentang bible sebagai Kitab Suci yang memiliki dua pengertian yaitu “perjanjian lama untuk Gereja” dan “Bible untu kaum Yahudi” menurut Wilfred kata-kata “perjanjian lama” atau Bibel untuk Yahudi akan mendistorsi pemahaman karena akan merendahkan sigripikasi “perjanjian lama” bagi kaum Kristen atau ketidak tepatan bagi Yahudi. Yang lebih bermasalah adalah penunjukan istilah “lama”. Tidak ada masyarakat yang menggunakan Kitab Suci “lama” (old) yang berbeda dengan zaman sekarang. Ia selalu berusaha setiap pagi sebagai kekuatan yang hidup dalam kehidupan, Kitab Suci yang berfungsi sebagai sumber kebenaran abadi yang selalu segar tidak kuno. Orang-orang Yahudi membaca Kitab Suci seakan-akan mereka mendengar Tuhan berbicara langsung sekitika itu juaga. Bagi orang Yahudi Istilah “lama” tidal dalam pengertian yang lebih dulu, permulaan yang kemudian digantikan. Kitab Suci Yahudi mereka memang lama dalam pengertian abadi. Ia tetap bertahan terhadap ujian waktu Kitab Suci ini dilihat sebagai sesuatu yang lama bertahan, otentik dan asli ia bukan merupakan atau modifikasi manusia atau sifat manusia yang melewati kebiasaan iseng, namun kekal sejak lama dan tentu akan menentang pada masa depan yang jauh.
Salah satu hal yang paling menarik didalam mengkaji Kitab Agama Yahudi adalah terdapat istilah Taurat. Taurat bermakna sedikit lebih nyala dibandingkan Bible, atau sedikit bermakna substansial dibandingkan Bibel. Taurat adalah pengertian khusus membentuk sebuah bagian dari kuantitatif dari seluruh yang lebih besar yaitu kepada Lima Kitab pertama Bibel kata Taurat memberi kata “T’ kepada Tanakh yang merupakan salah satu bagian dari Kitab Suci. Jadi jelas bahwa Taurat merupakan dari Bibel. Walaupun Taurat bagian dari Bibel tetapi selama berabad-abad telah diagungkan dalam sinagog.


Pandangan Wilfred Tentang Kitab Suci India (Hindu)
Kitab suci India pada awalnya tidak dimasukkan hanya kitab suci agama Hindu saja yaitu Weda akan tetapi seluruh agama-agama yang terdapat di anak benua India seperti agama Budha dan Jaina. Mengingat agama tersebut lahir dan berkemabang di India, akan tetapi selanjutnya agama Budha tidak saja terdapat di India namun berkembang luas ke daerah utara yaitu China. Begitu pula agama Jaina yang muncul lebih awal walaupun mendapat pengikut yang cukup banyak akan tetapi menjadi minoritas, kemudian yang menjadi mayoritas tetaplah agama hindu yang semula bernama agama brahma atau agama weda. Nama hindu merupakan pernyataan tentang agama brahma adalah agama seluruh dunia.
Wilfred bukan merupakan orang pertama yang tertarik dan meneliti tentang kitab suci agama Hindu. Tokoh yang paling terkenal dalam penelitian kitab suci Agama Hindu adalah Max Muller yang menegumpulkan data-data tentang kitab suci dan mnegumpulkannya dalam buku Scarad Books Of The East yang berjilid-jilid. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh Mircea Eliade yang mengungkapkan keberagaman masyarakat India sesuai dengan ajaran kitab suci. Maka Wilfred menggabungkan informasi dari kedua tokoh tersebut selain juga mengadakan study lapangan yang terpenting diantaranya adalah kitab suci di India yaitu purama yang beragam dan juga kitab suci merupakan sesuatu yang trasenden bagi masyarakat India.
Wilfred beranggapan bahwa Weda adalah kitab suci yang umum dan tidak berbentuk hanya satu seperti kitab Bible bagi orang Yahudi dan Al-Quran bagi orang Islam. Weda brmakna dasar “pengetahuan” lengkapnya istilah tersebut sama dengan bahasa Yunani Oida dan bahasa Jerman Weisen yang berarti “mengetahui” ataupun terdapat dalam bahasa latin Video dan bahasa Inggris Wise yang berarti kecerdasan. Di India istilah Weda dipergunakan untuk pengetahuan yang transcendental yang bisa diakses oleh umat manusia sejak zaman kono melaliu rumusan kata-kata tertentu (Cantel Smith 2005:215). Dengan demikian Weda adalah pengetahuan yang bersifat ghaib yang dituangkan dalam mantra-mantra suci.
Menurut Smith Weda dalam padangan Ilmuan Barat merujuk pada arti yang sempit yaitu salah satu bagian dari Weda, yaitu Rig-Weda yang berisi himne-himne suci yang mempunyai makna; memelihara rasa dekat lalu lintas dua arah antara manusia dengan Tuhan semangat rasa keberagamaan yang suci dkebenaran kesucian. (Centwel Smith, 2005:220). Tugas dari orang selain umat Hindu adalah bukan untuk memahami makna verbal objektif dari teks Weda itu akan tetapi mengakui bahwa kekuatan kesuciannya telah disampaikan pada umat Hindu.
Adapun kitab suci Weda secara umum menyangkut dua hal yaitu rutti yang mempunyai arti mendemgar, yaitu pengetahuan suci yang diadapat oleh para Rsi, dan yang kedua ialah Smriti yang mempunyai arti mengingat, yaitu tulisan-tulisan dari para Pandita mengenai tafsiran dari srutti. Dari Semriti itu kemudian berkembang kitab-kitab tuntunan seperti Purana,  Bhagadvagita, Ramayana, dan lain-lain.
Dalam perkembangan Kitab Suci India tersebut terdapat peralihan yaitu peralihan dari makna suara ke makna Verbal, dari makna Verbal kepada makna Benda yaitu Kertas. Wahyu pertama-tama merupakan suara-suara yang di terima oleh para Rsi kemudian suara itu dilantunkan oleh para Rsi dan setelah beberapa piriode lamanya kemudian wahyu itu di tulis. Dalam hal ini golongan Agamawan (Brahmana) sangat berwenang sekali, sehingga dia di tempatkan pada Kasta tertinggi, karena mereka mempunyai hak untuk mengenalkan ajaran Weda, membacanya dan juga mereka mempunyai wewenang yang tidak di miliki oleh Kasta lain yaitu mengajarkan Kitab Suci Weda.
Wilfred memberikan kesimpulan bahwa dalam mengkaji Kitab Suci Hindu di India bahwa Teks-teks Suci itu di pilih oleh berbagai macam orang pada waktu yang berbeda-beda. Fakta dasar mengenai Kitab Suci di India adalah bagian besar masyarakat Hindu sering, dalam ratusan bentuk yang berbeda-beda, hidup melalui hubungan Skriptural dengan sesama dan dunia sekitarnya. Dalam Hindu, kita telah melihat dua atau tiga Kitab Suci pokok, Rig Weda ada suara abadi dan penyambung hidup diri yang kadang-kadang di terima oleh Rsi untuk umat manusia, pandangan bahwa semua Kitab Suci adalah perkataan Krisna, Tuhan tertinggi dsb. Perbedaan, kekayaan, dan perkembangan yang panjang dalam situasi Hindu hanya mungkin dipahami secara lebih memuaskan dengan mengetahui pengertian manusia yang bertahan terus tentang Realitas Transenden dan realitas yang bisa diterima melalui beraneka ragam bentuk Verbal. Wilfred menyatakan bahwa bagi Umat Hindu dan juga para peneliti yang berusaha memahaminya adalah kesadaran terhadap yang sacral dalam Kitab Suci yang menjadikan Kitab Suci itu dapat di pahami.

Pandangan Wilfred Tentang Kiatab Suci Agama Budha
Wilfred memberikan uraian tentang kitab suci Agama Budha, dimulai dengan pembahasan mengenai gerakan Agama Budha tidak pernah mencoba menggantikan apa yang ditemukannya, namun hanya melengkapi dan memperkaya semata. Hal itu terbukti dengan perluasan agama Budha yang tidak saja berada di wilayah anak benua akan tetapi terus ke utara sampai di China, dan di sanalah kemudian Agama Budha berkembang pesat walaupun masyarakat China, telah memiliki keyakinan lokal. Rahasia sukses dari ajaran Budha adalah selaras dengan ajaran Tao dan Kong Fu Tzu China. Agama Budha tidak menghilangkan kepercayaan daerah asal akan tetapi kemudian melengkapi dan menambah kebermaknaan dari ajaran. Keharmonisan antara ajaran itu dapat kiat lihat dalam sebuah Vihara atau kuil China yang di dalamnya terdapat tiga unsur agama yaitu: Tao, Kong Hu cu dan Budha. Sosok Budha menurut Wilfred adalah seorang yang mengetakan kebenaran masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang atau menjadikan sesuatu yang oleh orang-orang atau generasi berikutnya diulang-ulang. (Cantwel Smith 2005:246).
Pembahasan mengenai kitab suci Budha, menurut Smith sangat erat kaitannya dengan sekte-sekte yang ada dalam agama Budha. Satu sekte terbesar mengumpulkan untuk kelompoknya sendiri sejenis produtivitas dan ekspansi skriptural sebagaimana yang dialami oleh gerakan Budha secara keseluruhan selama abad perkembangannya. Sekte-sekte utama mengambil kata-kata pendiri mereka yang secara teori memiliki otoritas yang sama dengan kata-kata Sidharta, dan secara praktik memilki otoritas yang lebih besar.
Kitab suci agama Budha adalah Tripitaka atau dalam literatur pali disebut Tipitaka, namun berbagai aliran Budha mempunyai pengakuan tersendiri terhadap kitab suci.golongan Threvadin akan berbeda dengan golongan  mahayana, begitu pula dengan golongan-golongan yang lain. Tripitaka yang berarti tiga keranjang ini memuat: pertama sutta pitaka yaitu aturan-aturan morastihdari sang Budha, kedua adalah Vinaya pitaka adalah ucapan sang Budha ataupun orang yang percayai oleh Budha. Keranjang ketiga adalah Abidhama Pitaka yaitu penjelasan makna filosofis dari ucapan sang Budha.gerakan Budha pertama kali dengan menggunakan bahasa lokal, kemudian penerjemah sutra ke dalam bahasa China merupakan satu sejarah penerjemahan yang mengesankan, selanjutnya penerjemahan ke dalam bahasa Tibet juga menjadi prioritas, begitu pula kepada bahasa-bahasa yang lain, dan tentunya dalam setiap penerjemahan terdapat penambahan-penambahan hingga akhirnya sutra yang dimilki oleh setiap bangsa berbeda tebalnya.
Wilfred memberikan contoh tentang pola penulisan kitab suci Budha di China, dan Jepang, di China terdapat dua cara dalam menentukan sutra dan yang kedua adalah menggunakan analogi bagian-bagian kitab suci yang dipilih dari kitab suci yang diakui. Di Jepang terdapat dua golongan sekte yaitu hinron dan Nichiran. Shinran mendapatkan sebuah sutra yang dapat memberikan jawaban atas segala kekecewaan jiwa, begitu pula dengan Nichiren yang menemukan kebenaran abadi yang terdapat dalam sutra lotus.
Inti dari uraiannya tentang kitab suci agama Budha adalah bahwa Sidharta atau Budha tidak mengejarkan papapun secara verbal, pesannya yang utam,a adalah kesunyian dan dalam kesunyian itulah terdapat kebijaksanaan.

Pandangan Wilfred Tentang Naskah Klasik Di China Dan Barat
Selain kitab suci yang terdapat pada agama-agama besar, naskah-naskah suci yang merupakan bagian dari kepercayaan pada masyarakat dan China merupakan sumbangan dari peradaban dunia. Peradaban China dan Barat khususnya Romawi dan Yunani merupakan kebudayaan yang melangkah maju dibandingkan bangsa lain, tentunya setelah peradaban Babilon, India dan Mesir. Walaupun naskah-naskah tersebut jarang dipandang sebagai kitab suci akan tetapi bisa disejajarkan dengan kitab suci karena mempunyai pengaruh yang kuat dalam kepercayaan masayarakat. Dalam naskah Romawi dan Yunani mungkin lebih dikenal dengan mitologinya begitu pula di China, akan tetapi didalamnya pun terdapat unsur moral, etika dan hukum dalam masyarakat.
Wilfred memberikan contoh di China terdapat istilah Ching yang digunakan oleh orang-orang China untuk merujuk kepada kitab-kitab yang memilki setatus khusus dalam kehidupan mereka dan melampaui sesuatu yang berharga. Menurut ilmuaan Barat biasanya menerjemahkan Ching sebagai “kitab suci” yang merujuk pada karya-karya Taois, Budhis dan Konfucian. Interrelasi diantara Ching yang berbeda-beda telah berjalan secara dinamis. Hal ini disebabkan oleh sinkretisme ajaran-ajaran tersebut disamping prinsip ajaran Budha yang sangat bersahabat dengan ajaran-ajaran yang lain.
Dalam pandangan orang barat kitab suci merujuk kepada apa yang diturunkan di Palestina yaitu Bible dengan tambahan Gereja, dan orang-orang Yahudi, sedangkan naskah klasik atau kitab suci klasik itu merujuk kepada literatur berharga yang berasal dari warisan Yunani dan Romawi; banyak orang barat yang memahami “moralitas” dan “Agama” sebagai dua hal yang berbeda. Menurut sebagaian pandangan barat menyatakan bahwa moralitas atau etika terkait dengan warisan dari Yunani dan Romawi sedangkan Agama pada masa moderen terkait warisan dari Palestina. Hal tersebut berkaitan erta dengan penyebaran agama Keristen ke wilayah Barat (Eropa) dimana ditempat asalnya Timur Tengah orang sudah tidak lagi menaruh perhatian. Maka saat itu kemudian Barat membuka pintu gerbang bagi Agama Keristen.
Wilfred menyatakan bahwa pada saat ini khususnya di Eropa, muncul pemisahan yang sinifikan antara Keristen dan Kelasikis. Kalangan deis dan filosof secara khusus menentang Keristen dan mencampakan sebuah bagian dari klasikis dengan ilmu pengetahuan (Cantwell Smith 2005 : 325).
Wilfred memberikan kesimpulan dengan sebuah perkiraan bahwa naskah klasik China (Taois dan Konfusian) dan klasik Yunani-Romawi akan diakui diBarat sebagai kitab suci dan akan membantu pemahaman kita untuk mengetahui makna sebenarnya dari kitab suci serta manfaatnya bagi umat manusia.

Latar Belakang Kehidupan Wilfred Cantmell Smith
  1. Kehidupan Wilfred Cantwell Smith
Wilfred Cantwell Smith, adalah seorang teolog dan sejarawan agama yang lahir di torento, 21 juli 1916. anak kedua dan bungsu dari seorang keluarga yang mempunyai status ekonomi yang mapan, bersahaja. Orangnya punya perusahaan alat tulis ball point parker, di Kanada. Pada usia antara 18 dan 17, ia masuk apper canada collegs, sebuah sekolah menengah bergaya inggris yang terkenal dengan menaranya yang menjadi kebanggaan warga kota di Canada.
Keluarganya termasuk orang yang berada dalam bidang akademik maupun bisnis, hal ini terlihat dalam kehidupan keluarganya banyak saudara sekandungnya mampu memberikan prestasi yang terbaik dan mempunyai popularitas pendidikan yang dapat dibanggakan, kakak W.C. Smith, yaitu Arnold C.S. ia pernah pernah menjadi duta besar Kanada untuk pemerintah Mesir dan di Unisoviet dan pernah juga menjadi sekjen Negara-negara persemakmuran bekas jajahan kerajaan inggris.
Keluarga Smith menganut Agama Kristen aliran presgitarian, dan Wilfred C.S. serta keluarganya merupakan keluarga yang taat dan saleh dalam memeluk kepercayaannya itu sehingga W.C. Smith panatik dan tidak menerima pendapat ajaran kristen dan sekte lain. Biasanya setiap sekte dalam ajaran agama kristen mempunyai sikap dominasi berlebihan yang terkadang menimbulkan komplik sosial dan politik.
Keluarga W.C. Smith yang menganut agama kristen dalam anggota keluarganya itu, plural, ibunya adalah penganut aliran kristen metodis hanya sebatas liberal dan hal ini menjadi pengalaman berharga bagi dirinya dikemudian hari Smith lalu beralih dalam memahami doktrin, tidak hanya secara liberal tetapi ia menjabarkan dan menafsirkan secara intelektual dan terbuka. Dalam melihat dan memahaminya sebagai suatu simbol dan realitas yang agung dan sakral yang tentunya makna dan esensi dari suatu simbolisnya itu.
Dalam memahami keagamaan tentunya dengan keahlian yang ia miliki, dalam hal ini Smith mengakui iman dan kepercayaan sebagai realitas pribadi dan reformasi keagamaan, merupakan hal yang sangat individual, dengan kenyataan tersebut Smith mampu menghargainya atau bahkan anti-pati kepada cara berpikir bebas dan realistis tersebut.
Ketika W.C. Smith menjelang dewasa pikirannya mulai terjadi perubahan yang asalnya bersikap ortodok, tetapi kemudian ia mampu bersikap modern, dan pendapatnya sangat terbuka dan pluralis. Pemikirannya berubah menjadi seperti itu terjadi pada abad 20. ia pada tahun 1939 dengan Mauriel Malkenzre, saat itu Smith berusia sekitar 23 tahun.
Ketika Smith masih kecil, saat ia masih di apper college dan di lescee champollion, Grenot, Perancis, ia menunjukan kemampuan dan otoritas di bidang bahasa dan sejarah, sehingga pengkajian dan studi agamanya menggunakan sejarah hal ini nampak ia memaparkan tentang Islam, dalam bukunya “Islam in Modern History”, disebutkan oleh princeston university perss 1957 di bukunya yang lain. Yaitu “Believe dan History” disebutkan princeston press 1979, W.C Smith menamatkan S-1 nya di universitas totanso dalam bidang orintal studies (kajian-kajian ketimuran) dengan menghususkan diri pada bahasa-bahasa Smith klasik dan sejarah timur dekat, bidang yang mempunyai tradisi tinggi di universitas toronso. Dengan spesialisasinya ini ia cenderung selalu menggunakan analisis sejarah didalam mengkaji suatu teori filsafat, baik teori filsafat hasil pengembangan dirinya maupun orang lain (Abdul Hisyam:100).

  1. Karir Akademik dan Dialog Antar Agama
Setelah menyelesaikan studi dari unversitas toronto, dalam bidang sejarah, bahasa dan dalam bidang oriental studies-nya W.C. Smith melanjutkan jenjang pendidikannya ke Wentminster College Universitas Cambridge, yang pada saat itu ia banyak mengkaji dan mendalami islam dan B. Arab dari seorang Tokoh orientalis, yaitu Professor H. A. R. Gibb, ketika pecah perang dunia, pada tahun 1941 ia pergi ke India, ia menempati suatu kota, yang tingkat pertumbuhan agamanya sangat dominan, dan W. C. Smith menyempatkan diri untuk mengajar sejarah India di Forman Chrintian yang merupakan cabang Universitas Punjab.
W. C. Smith dalam karya pendidikannya, dimulai ketika studi di universitas M. C. Gill, Montreal. Pada saat itu ia dipercaya untuk menjadi W. M. arts Profeson of Komparative Religion, walaupun usia ia relatif masih muda, yaitu berumur sekitar 33 tahun, yang kemudian 2 tahun setelah menjabad sebagai Profesor di Unversitas M. C. Gill, ia mendirikan M. C. Gill Institute of Islamic Stadies yang sekaligus menjadi direkturnya pada tahun 1952 telah dibuka institut tersebut merupakan bagian dari M. C. Gill University, dimana sebagian dari setiap pengajar dan juga mahasiswanya adalah orang-orang islam, dan juga pada masa, pada saat ini ada beberapa sarjana Budis telah diundang untuk berkunjung ke Cikago, Divirity School dll.
Ketika ia memimpin Institute of Islamic Studies, program-program yang di rancangnya adalah tidak pada wilayah gegrafis seperti timur tengah, pada faktor-faktor umum yang mengajukan budaya yang terbentang di Afrika barat dan Asia tengah dan juga Indonesia. Pada tahun 1964 di usianya yang ke 48, ia diangkat menjadi direktur pusat kajian agama –agama dunia yang berapeliasi ke divinty school, Universitas Harvad, sekitar satu dasawarsa di harcard Smith mengumpulkan para mahasiswa dan staf pengajar dari agama-agama dan meminta mereka mengembangkan tologi-tologi mereka satu sama lain Smith sendiri mengemukakan tujuan yang diterima baik dari orang Yahudi maupun orang Budha, baik orang Islam maupun orang kasta yang dijalinnya dalam tradisi akademis (w. c. Smith, 1972:90). Divinty school didirikan oleh penganut aliran prunitianisme yakni dalam agama kristen yang menolak doktrin trinitas atau aliran ini di Amerika Serikat disebut pransendentalisme.
Divinity school di Harvard ia tidak sama dengan M. C. Gill Institute of Islamic Studies. Beberapa programnya dialog yang diadakan di Harvard tak hanya antara kerjasamaan Barat dengan Tradisi-tradisi Asia, melainkan juga secara tidak langsung dengan teologi Kristen, disamping itu pun Smith memalingkan perhatian tidak hanya di fakultas tertentu tetapi ia memberikan perhatian kepada kajian tentang agama di fakultas ilmu dan kesenian yang sasarannya jenjang pasca sarjana.
Saat ini diperlukan sarana-sarana dialog yang merumuskan dan mensistematiskan pertemuan sarjana-sarjana berbagai macam agama, di Amerika utara sudah dimulai dirintis baik di M. C. Gill University, Chicago University dan juga di Harvard University, gerakan semacam ini akan melahirkan konsep lebih efektif, dan menjadikan agama-agama yang berkembang di Asia dan penganutnya sudah lebih siap mengadakan kerja sama dan studi timbal-balik yang bersifat resmi dan akademis pada tingkatan perguruan tinggi, dalam hal ini. Pemikiran yang berkenaan dengan konsep dialog telah memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam perkembangan studi keagamaan di dunia, dan rintisan-rintisan Smith telah membuktikan bahwa ia seorang pemikir yang mampu memahami kenyataan representatif, yang lebih mengutamakan kemanusiaan.
Pada saat ini yang menjadi topik pembicaraan di dunia Barat bukan lagi masalah keilmuan, melainkan lebih mengembangkan aspek-aspek material dan kini beralih kepada hal-hal yang bersifat religi dan mistik. Maka dalam hal ini sangatlah tepat apabila Smith mengajukan penelitian agama, yang lebih kritis dan bersifat kemanusiaan, dan penelitian agama, dengan adanya dialog antar agama merupakan suatu solusi, yang menurut Smith sangat relevan dengan kondisi agama dan transformasi sosial yang semakin global dan pluralis.
Willfred Cantwell Smith dan Teologi Kristen
W. C. Smith memulai pernyataan teolog dengan menjelaskan hubungan moral dan implikasinya dengan Al-Kitab. Dalam hidup moral, hubungan dengan Tuhan diwujudkan dalam hidup nyata. Dalam hidup moral hubungan dengan Tuhan dihayati sebagai keterlibatan dan ketaatan (A. M. Hardjana, 1993:84). Pada tingkat moral wahyu Tuhan dalam Kristus menghadapi rekonsiliasi dan rassakebersamaan yang mendalam sebagaimana yang dikatakan Smith “dari segi moral”.
Sesungguhnya mustahil mendatangi dunia dan berkata kepada sesama yang saleh dan cerdas. Kami selamatkan dan anda di hukum atau kami yakin bahwa kami mengenal Allah dan kami benar. Anda yakin bahwa anda mengenal Allah, namun anda kami keliru.
W. C. Smith mempermasalahkan tentang sebuah teologi Kristen sebagai teologi alternatif pada saat ini, karena Kristen secara serius menampilkan sebuah teologi, dalam perputaran atau perkembangan agama Kristen merupakan pormasi yang berkesinambungan, yang berkenaan dengan budaya sekuler dan kesenangan. Hal itu sadar diperkenalkan oleh kesadaran baru gereja tentang kepercayaan umat yang lain dengan permasalahan dan pemikiran Kristen. Dalam hal ini mereka membahas kepada pelaku dan juga sebagai objek dalam penyelidikan secara antusias.
Sebuah catatan tentang teologi agama-agama yang mempunyai penjelasan dan kemurnian hubungan teologi Kristen tentang agama-agama, yang masih disusun secara eksplisit dalam kepercayaannya. Agar tidak akan terjadi kesalahpahaman jika perpaduan teologi menjadi hanya milik orang Kristen, tidak hanya sebagai relatisme , satu pilihan dari beberapa pilihan yang semua sama-sama terbuka, yaitu dogma, sebuah penghambaan, yang mana hal itu dapat dilihat sebagai sebuah rasionalisasi, dibandingkan dari sebuah penyelesaian permasalahan. Kemudian ini menampilkan secara apologis, tetapi bukan ketidak adilan.
Seorang ilmuan yang mencari pertemuan dalam sebuah pendebatan yang bersikap apriori, tetapi seorang yang ingin mengetahui intelektual, informasi, dan ketulusan hati.
Teologi Kristen tentang perkawinan, kebebasan polotik, penyatuan kepercayaan, teologi, pernyataan intelektual, dan pemikiran seseorang akan tampak, tetapi damana tidak terdapat teologi Kristen tentang agama lain, sebab setiap agama membahas beberapa hal-hal perasaan diluarnya. Teologi yang menyimpan tentang hal itu secara kohepensi. Pandangan Smith mengenai kepercayaanverbal adalah penting, menyeluruh dan bernilai tinggi, tetapi dalam kepercayaan ini tidak dapat dibahas pelaku yang ada diluar penganutnya, teologi ini sendiri adalah sebuah prinsip organis yang mana tidak hanya teoritis, tetapi lebih jauh lagi melihat semua yang terbatas, dalam hubungannya dengan yang tidak terbatas. Dalam komunitas kepercayaan berprinsip menghadirkan keberadaan objek kepercayaan komunitas yang lain, kepercayaan dapat dianalisa hanya dari dalam saja.
Menurut Smith bukan hanya teologi Kristen, yang mengklaim terhadap aspirasi tertentu, pada masa lalu banyak tanggapan yang bertentangan, dan tanggapan tersebut datang karena disebabkan oleh sikap kepemilikan atau yang berpangkal dari kedangkalan, ketidakhati-hatian kepada sesuatu yang nampa. Dalam hal ini pernyataan Smith merupakan sebuah kesimpulan yang menarik untuk ditemukan, tetapi bukan promis yang nyata.
Jika berbicara tentang teologi Kristen mengenai agama-agama yang salah satunya disini ada teologi Islam mengenai agama-agama yang mempunyai komitmen, kriteria. Ada penilaian yang dipandang oleh beberapa agama bahwasannya teologi Islam juga mempunyai terminologi tertentu, esensi kebenaran, dan kepercayaan tentang aliran. Beberapa penafsiran tentang Kristen atau kepercayaan Hindu, oleh seorang muslim dalam Islam masih terdapat salah penafsiran.
Pada tingkatan teoritis, teologi Islam boleh dipandang sebagai kebenaran dan teologi Kristen, kepercayaan Kristen ada yang memandang salah, dalam kontek lain, terjadi sebuah kontradiksi secara terminologi teologi Kristen, beberapa yang akan ditegaskan, disetujui dalam kebenaran tersendiri, mengenai teologi Kristen tentang agama-agama masih sebuah konsep yang sifatnya menandai.
Terakhir, teologi Kristen (islam atau Hindu) tentang Smith mengatakan dirinya hanya tidak sebagai pelaku dalam sebuah keraguan sebagai objeknya dan penafsiran apakah yang harus diartikan, dan juga yang harus dimunculkan di lapangan (W. C. Smith, 1951:110).

Karya-karya Wilfred dan W. C. Smith
Karya Wilfred C Smith yang dituliskan banyak tersebar diberbagai jurnal ilmiah, artikel-artikel yang ditulis kebanyakan mengenai masalah-masalah agama, sosial, pendidikan, kajian tentang dunia Barat dan Timur, serta tentang Islam. Bahkan Smith pun memberikan tanggapan secara serius tentang studi P. A.
Karya-Karya Smith yang Diterbitkan
  1. Modern Islam in India A. Sosial Analisis, A. diterbitkan Minerva, Lahore, 1943, Edisi Revisi ini diterbitkan Penerbit V. Collaneg, London, 1946: dicetak ulang oleh SH. M. Ashar, Lahore, 1963 dan 1969, juga oleh Penerbit Russell, New York, 1972, Edisi bajakan tahun 1947 oleh Penerbit Rippon, Lahore dengan bab tambahan Towards Pakistan.
  2. Pakistan is and Islamic State, diterbitkan SH. M. ashraf Lahore. 1951.
Islam in Modern History, diterbitkan Penceton University Press, Princeton, 1957.
The Faith of Other Man, diterbitkan Canadian Broadkasting Corpotation, Toronto, 1962, Edisi buku ini sudah disempurnakan diterbitkan oleh Penerbit New American Library, New York, 1963.
The Meaning and End of Religion: A. New Aproach to the Religius Traditions of Mankind, diterbitkan Penerbit Macmillan New York, 1963.
Modernazatuon of a Traditional Society, Penerbit Asia Publishing House. Bombay, Calcutta, 1956.
Question of Religious Truth diterbitkan Charles Seribners Sons, New York.
Religious Deversity, disunting Willard G. Oxtoby, dan diterbitkan Harper dan Row, New York and London, 1976.
Believe and History, diterbitkan Princeton University Press, Princeton, 1979.
Towards a World Theology, Penerbit Macmullan London, dan Westminster, Philadelphia, 1951. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar